Senin, 19 Oktober 2009

Kelaparan dan Investasi Pertanian

Dua abad lalu, tepatnya tahun 1798 ketika penduduk bumi belum 1miliar jiwa, Thomas Malthus mengingatkan bahwa planet kita tidak akan mampu memberi makan.

Di masa Perang Dingin antara Barat dan Timur, Lester R Brown, seorang pegawai Departemen Pertanian AS, dalam tulisannya mengkhawatirkan, meskipun negara berkategori belum dan sedang berkembang melipatgandakan produksi pangannya tahun 2000, mereka tetap tak mampu memberi makan rakyatnya. Kini jumlah penduduk bumi 6,7 miliar, tapi tampaknya planet bumi masih mampu memberi makan. Sepertinya dugaan Malthus meleset.

Namun apakah kekeliruan Malthus atau kebenaran Brown masih akan berlaku untuk masa-masa mendatang? Pertanyaan itu amat relevan dengan tema Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2009: Achieving Food Securityin TimesofCrisis.Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan hidup semakin baik.Tahun 1914, penduduk dunia baru 1,6 miliar dan diramalkan tahun 2025 akan menjadi 8,5 miliar.Tiap dekade tambah 1 miliar.Tahun 1900,bayi laki-laki bisa hidup sampai usia 46 tahun dan bayi perempuan 48 tahun.

Sekarang, karena kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan yang prima, dan kualitas makanan yang kian baik, harapan hidup manusia menembus angka 70 tahun. Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit karena terdesak oleh keperluan nonpertanian. Bagaimana terus meningkatkan produksi pangan di saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air tanah? Bagaimana menggenjot produksi pada saat erosi genetika demikian intensif, salinitas mencemari sawah, dan hanya tersedia sedikit air irigasi?

Kenaikan harga minyak fosil, pergeseran permintaan konsumsi biji-bijian di China dan India yang besar, konversi pangan ke bahan bakar (biofuel) di negara maju, dan spekulasi membuat produksi kian sulit. Belum lagi penyimpangan cuaca akibat pemanasan global yang membuat usaha tani kian sulit dikendalikan. Masih sanggupkah memberi makan?

Sejumlah pihak yang menelisik sebab-sebab kenaikan harga pangan setidaknya menemukan hal-hal berikut: kenaikan harga pangan yang tinggi bukan cuma karena suplai dan stok pangan dunia yang menyusut, gagal panen di negara-negara produsen pangan utama, kenaikan harga minyak fosil dan iklim yang makin sulit diantisipasi, tetapi juga akibat pergeseran permintaan: konsumsi biji-bijian di China dan India yang makin besar, konversi pangan ke bahan bakar (biofuel) di negara maju, dan spekulasi.

Secara global, suplai pangan sebetulnya cukup memberi makan dua kali jumlah manusia saat ini. Namun, pangan yang melimpah tidak mengalir pada yang memerlukan, tapi menuju mereka yang berduit. Akibat kemiskinan, konsumen di negara-negara miskin tidak bisa mengakses pangan. Maka, kelaparan dalam berbagai manifestasinya meruyak di negara-negara miskin. Tiap tujuh detik seorang anak usia di bawah 10 tahun mati kelaparan dan 1,02 miliar manusia secara permanen menderita kekurangan gizi parah.

Ini merupakan masalah global yang pelik dan bakal menjadi ancaman pencapaian target Millennium Development Goals: mengurangi kemiskinan 50 persen pada 2015. Tuhan telah merahmati dunia dengan aneka pangan: aneka tanaman dan hewan. Namun, akibat desain globalisasi yang dipromosikan negara maju, pangan kian mengarah pada penyeragaman. Meski sedikitnya ada 3.000 spesies tumbuhan telah dipergunakan untuk keperluan pangan, saat ini hanya 16 tanaman pangan utama yang dibudidayakan untuk pangan (Thrupp, 1998).

Di bawah pendiktean perusahaan transnasional (TNCs), budi daya pertanian global hanya bertumpu pada segelintir biji-bijian,terutama gandum,beras, dan jagung. Kacang pun hanya kedelai dan kacang tanah, bukan kecipir yang lebih unggul (tahan kering dan totally edible) dan banyak tersebar di negara berkembang.

Kalau kemudian hanya segelintir negara-negara maju jadi eksportir pangan utama, itu lumrah karena pangan terkonsentrasi di sana. Rentang 1997 - 2003, negaranegara maju memiliki rasio swasembada (surplus pangan) yang tinggi dengan komoditas yang kian beragam. Misalnya, rasio swasembada serealia Prancis 2,38; Kanada 1,94; USA 1,46; Inggris 1,17; Jerman 1,13; dan Italia 1,12. Cakupan serealia tak terbatas pada komoditas konvensional seperti barley, sorgum, gandum, dan jagung, tapi juga beras.

Italia dan AS dengan surplus pangan serealia yang besar juga memproduksi beras. Jepang sebagai negara net-importir beras juga memiliki tingkat swasembada beras yang relatif tinggi. Swasembada negara-negara maju itu dicapai dengan tingkat proteksi dan subsidi yang sangat tinggi. Misalnya, 80 persen pendapatan petani padi OECD berasal dari subsidi. Proteksi di Uni Eropa (UE) tahun 2000 mencapai 34 persen. Artinya, tiap USD100 nilai output yang diterima petani produsen di UE, USD34 merupakan transfer pendapatan (proteksi) dalam berbagai bentuk.

Selain di UE,proteksi tinggi terjadi di Korsel (73 persen), Norwegia (66 persen) dan Jepang (64 persen).Komoditas yang diproteksi tinggi: beras (5,43), gula (2,04), dan susu (1,85). Artinya, harga susu 1,85,gula 2,04,dan beras 5,43 dari harga paritasnya. Akibat proteksi dan subsidi yang luar biasa besar itulah negaranegara maju memiliki surplus pangan, yang pada gilirannya surplus tersebut dilepas ke pasar dengan harga dumping. Bagi negara net importer pangan, ini menguntungkan.

Namun bagi negara-negara berkembang yang mengembangkan komoditas sejenis, ia terkena pukulan ganda. Pertama, karena harga pangan impor murah, produksi petani domestik dinilai tidak kompetitif. Muncullah jalan pintas: impor saja. Padahal, poin kedua, pangan tersebut pada hakikatnya komoditas substitusi impor yang jadi sumber devisa, gantungan hidup petani dan jutaan tenaga kerja. Lantaran bias kepentingan negara maju, WTO tidak pernah menyentuh praktik unfair ini. Karenanya, pertanyaan masih sanggupkah memberi makan relevan ditujukan pada negara-negara pengembang komoditas sejenis seperti Indonesia.

Saat ini, Indonesia termasuk negara berketahanan pangan rendah dan mengimpor 5 - 10 persen dari total kebutuhan pangannya. Beras dan jagung memang naik, tapi impor enam pangan nonberas (gandum, kedelai, daging dan telur ayam ras, daging sapi, dan susu) sudah masuk kategori kritis.Untuk mencegah busung lapar dan sanggup memberi makan penduduk yang tahun 2035 diprediksi mencapai 400 juta jiwa, menggenjot investasi ke pertanian jadi salah satu jawabannya. Investasi di pertanian dan perdesaan terbukti jadi mesin penggerak pembangunan.

Saat investasi asing lesu, komitmen negara donor dan negara maju dalam membantu negara miskin mengendur, menggali investasi domestik harus digenjot. Investasi mesti difokuskan pada perbaikan kualitas lahan dan infrastruktur perdesaan, riset input (bibit, pupuk, pestisida) pertanian, teknologi pengolahan dan pascapanen, serta membangun kelembagaan (perdesaan dan pasar) yang adil bagi petani.

Khudori