Sabtu, 24 Oktober 2009

Kesuksesan Perlu Bekerja Sama

Banyak individu dan organisasi yang sudah sukses menulis tentang kehebatan diri dan organisasinya. Mereka cenderung merasa bahwa I did it my way. Maka, jangan heran jika banyak bermunculan buku yang judulnya analog dengan "my way". Sekedar beberapa contoh, lihatlah judul-judul buku seperti The McKinsey Way, The Honda Way, The Cisco Way, The Toyota Way, The Apple Way, dan The Google Way.

Buku-buku semacam itu laris bak kacang goreng dikarenakan sejumlah faktor:
(1) rasa ingin tahu (curiosity) publik yang begitu besar atas kisah sukses yang inspiratif dan bahkan dramatis;
(2) keinginan mencari benchmark praktik bisnis prima;
(3) hasrat menemukan formula sukses 'siap pakai' yang bisa diadopsi, diadaptasi atau direplikasi; serta
(4) harapan dan impian mengikuti jejak sukses perusahaan bersangkutan.
Di samping itu, tampaknya kisah sukses cenderung lebih atraktif dibandingkan kisah gagal. Meskipun belum tentu kalah dalam hal oplah penjualan, buku-buku yang mengulas kegagalan bisnis (seperti Blunders in International Business, Marketing Mistakes, The World's Stupidest Inventions, Business Blunders, Brilliant Strategies and Fatal Blunders, When Giants Stumble, dan Brand Failures) cenderung kalah gaungnya dibandingkan buku-buku rahasia keberhasilan sebuah perusahaan.

Pengalaman
Salah satu perusahaan yang banyak dikupas dalam buku-buku kisah sukses beberapa tahun terakhir adalah Apple, Inc. Perusahaan global ini dipandang mampu mencatat prestasi fenomenal yang mengundang decak kagum di kalangan pengamat bisnis. Sejumlah buku telah dipublikasikan mengenai sepak terjang perusahaan sukses ini, di antaranya: Macintosh: The Naked Truth, The Macintosh Way, Infinite Loop, The Little Kingdom, dan The Apple Way.
Banyak yang menjuluki perusahaan Apple sebagai salah satu perusahaan paling inovatif di dunia. Bayangkan saja, di kala banyak perusahaan lain mengalami kesulitan, Apple justru mencatat kinerja fantastis, misalnya harga saham melonjak 250% dalam kurun waktu hanya satu tahun dan pendapatan neto juga meningkat 530%. Selain itu, Apple mampu melakukan turnaround dari kegagalan peluncuran Lisa (Local Integrated Software Architecture) di tahun 1983 hingga suksesnya iPod dalam beberapa tahun terakhir. Apple tidak hanya mampu bangkit dari keterpurukan, namun juga telah melakukan perubahan revolusioner dalam industri komputer secara keseluruhan.
Buku The Apple Way, misalnya, menceritakan bagaimana Apple belajar dari pengalaman pahit sebelumnya untuk kembali membenahi diri hingga akhirnya sanggup menjadi salah satu perusahaan paling inovatif di dunia yang disegani dan dikagumi. Apple pernah gagal dalam proyek Lisa yang sempat dijagokan sebagai produk unggulan pengganti Apple II. Dilengkapi dengan sejumlah fitur menawan yang sekaligus adalah konsep terobosan di awal dekade tahun 1980-an (di antaranya, graphical user interface dan monitor berkemampuan 'what you see is what you get'), tidak pelak lagi Lisa merupakan komputer paling keren di zamannya.
Lantas, apa yang salah dengan Lisa? Ternyata komputer canggih tersebut tidak didukung perangkat lunak pelengkap. Lisa juga tidak kompatibel dengan komputer-komputer lainnya, sehingga para pemakainya seolah-olah terisolir dalam dunia Apple semata. Floppy drive dan prosesor Lisa ternyata terbukti tidak andal, sementara harganya amat mahal. Semula Steve Jobs, pemimpin Apple, menargetkan harganya berkisar USD2,000. Namun, seiring dengan menggelembungnya biaya, harganya melonjak hingga USD9,995. Situasi ini diperparah dengan beredarnya rumor bahwa Apple bakal meluncurkan komputer baru yang harganya hanya separuh harga Lisa. Walaupun Apple membantah keras isu tersebut, konsumen cenderung menghindari pembelian Lisa.
Sudah begitu, IBM PC dan MS-DOS ternyata mampu berkembang menjadi standar industri. Bisa dibayangkan betapa terpukulnya penjualan Lisa. Pada bulan April 1985, Apple menarik Lisa dari peredaran. Ironisnya, ada sebuah foto yang beredar di kalangan penggila komputer yang menunjukkan sebuah buldozer mengubur 2.700 unit Lisa yang tidak laku terjual di Logan, Utah, pada tahun 1989.
Akan tetapi, bukan Apple namanya jika tidak bisa bangkit dari keterpurukan. Pada tanggal 21 Oktober 2001, misalnya, Apple mereinventasi pasar musik lewat produknya iPod. Pada mulanya banyak kalangan yang pesimis kalau iPod bakal mampu menyaingi Walkman. Saat itu iPod ditawarkan dengan harga USD400, sementara Walkman hanya berkisar puluhan dolar. Mereka yang pesimis dengan masa depan iPod bahkan secara sinis memelesetkan nama iPod sebagai akronim dari "Idiots price our devices" dan "I'd prefer owning discs". Sejarah kemudian membuktikan bahwa iPod justru bisa menjadi mesin uang Apple lewat sejumlah daya tariknya, seperti fungsionalitas canggih, desain elegan, kompatibilitas dengan PC, keterkaitan dengan produk/jasa lain, dan sorotan publik yang luar biasa.
Pengalaman pahit kegagalan Lisa memberi pelajaran berharga bagi Apple bahwa betapapun kuatnya sebuah perusahaan, tidak akan mampu mengembangkan pasar sendiri. Dinamika pasar dan teknologi teramat berat dihadapi oleh hanya sebuah perusahaan. Sejak saat itu, Apple berubah dan mulai bekerja sama dengan beberapa perusahaan lain, di antaranya pernah dengan Hewlett-Packard dan Motorola.

Wawasan Manajerial
Membedah kasus kesuksesan Apple tentu saja tidak semudah mengupas buah apel. Tidak mudah mengidentifikasi strategi dan faktor keberhasilan kunci (key success factors) yang mampu menjelaskan bagaimana perusahaan raksasa ini meraih kesuksesannya. Walaupun begitu, sejumlah publikasi secara konsisten mengungkap beberapa kunci sukses berikut yang didapat dari pengalaman Apple, Inc.:
(1) kemampuan dan kemauan belajar dari pengalaman sukses maupun gagal;
(2) selalu berinovasi dan pantang cepat puas diri;
(3) berkolaborasi dengan perusahaan lain dalam mengembangkan pasar; serta
(4) fokus pada kebutuhan dan keinginan pelanggan dalam proses pengembangan produk, salah satunya lewat pembentukan brand community.
Selain itu, pengalaman Apple, Inc. juga memberikan sejumlah pelajaran berharga, di antaranya:
(1) gagasan terbaik tidak selalu mendapat sambutan hangat pada awalnya;
(2) kepeloporan pasar tanpa dibarengi efisiensi biaya tidak bakal sukses;
(3) jika produk kita tampak 'menakutkan' bagi konsumen, kita wajib semampu mungkin membuatnya user-friendly;
(4) jika kita tahu apa yang dibutuhkan konsumen, berikan itu dan jangan pedulikan orang-orang yang skeptis;
(5) para pengguna fanatik bukan saja menjadi konsumen setia produk, namun mereka juga berperan aktif sebagai 'pewarta' dan bahkan berpotensi menjadi pembela perusahaan di masa-masa sulit;
(6) pengembangan wiraniaga setidaknya sama pentingnya dengan pengembangan produk (prinsip Apple adalah "the more special your product, the more likely you'll have to sell it yourself");
(7) timing adalah segalanya dalam sektor high-tech; dan
(8) keunggulan kompetitif bakal memudar seiring perjalanan waktu.


Business News