Minggu, 18 Oktober 2009

ADB : Ekonomi Asia Masih Rapuh

Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai Asia mungkin bisa memimpin pemulihan ekonomi dunia, tetapi prospek pertumbuhannya masih rapuh akibat suramnya situasi ekonomi global.

"Pertanyaannya adalah apakah pemulihan akan dapat dipertahankan pada 2010 dan seterusnya. Outlook masih tetap belum pasti, terutama dari risiko pelemahan yang mungkin akan menunda pemulihan penuh di Asia," kata Kepala Ekonom ADB Jong-Wha Lee di Washington. ADB telah mengeluarkan proyeksi "sangat optimistis" bagi Asia untuk tingkat pertumbuhan pada 2010. Namun, pemulihan Asia bisa sirna oleh lemahnya pemulihan global, terutama di negara-negara industri. Kondisi ini bisa diperparah oleh masih prematurnya "exit strategy" yang dikeluarkan negara-negara Asia.

Lembaga peminjam yang bermarkas di Manila telah mengumumkan China dan India akan menjadi pemimpin dengan pertumbuhan. Asia diprediksi tumbuh rata-rata 6,4 pada 2010 dan 3,9 tahun ini. Ini angka yang besar jika dibandingkan rata-rata global, tapi masih di bawah China dan India. "Jadi, meskipun kita (Asia) sekarang memimpin pemulihan, tidak ada ruang untuk berpuas diri karena pemulihan global dalam jangka pendek berjalan sangat lemah," jelas Lee. Lee mengakui, Asia telah membuktikan diri sebagai wilayah yang lebih tahan menghadapi terpaan resesi global terburuk selama 100 tahun dibandingkan daerah lain.

Kekuatan utama Asia adalah memiliki industri berorientasi ekspor yang kuat. Sistem keuangan yang sehat, stimulus fiskal moneter yang efektif, dan kinerja yang kuat di China dan negara dengan perekonomian besar di Asia lainnya menjadi penahan Asia dari terpaan dampak negatif resesi global. Lee memaparkan, salah satu pemicu krisis global adalah defisit neraca Amerika Serikat (AS). Asia yang ekonominya bergantung pada ekspor secara signifikan berkontribusi atas ketidakseimbangan neraca global. Tahun ini, defisit neraca AS turun secara dramatis dan surplus China akan anjlok.

Namun, ini belum cukup untuk menciptakan keseimbangan neraca global. Dengan begitu, ekonomi Asia perlu pergeseran dari pertumbuhan yang dipicu ekspor ke permintaan regional dan domestik. Pergeseran juga akan menyeimbangkan neraca global. ADB juga menyarankan negara-negara di Asia meningkatkan konsumsi melalu pengembangan pasar dan sistem keuangan, memelihara kelas menengah, dan memperbaiki sistem jaminan sosial untuk mencegah peningkatan simpanan publik (tabungan).

Langkah Ini akan menjadi bantalan yang lebih baik bagi Asia dari guncangan eksternal dan mengurangi pembengkakan surplus neraca yang menjadi salah satu penyebab krisis keuangan global. "Kami belum berpikir masalah ini akan bisa diselesaikan pada 2010. Risiko ekonomi global akan tetap ada," papar Lee. "Asia telah berhasil meningkatkan orientasi ekspor sehingga kerentanan terhadap guncangan eksternal juga menguat. Meskipun ada banyak diskusi seputar pemulihan, faktanya negara-negara Asia tidak terpisah dari negara-negara industri," ujar Lee.

"Jadi, Asia tidak bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan di wilayahnya dan kita masih bergantung pada permintaan eksternal," tambah dia. Ekonom ADB Michael Mussa menjelaskan, dia tidak mengharapkan sebagian besar dunia akan terperosok dalam resesi atau mengalami pertumbuhan yang sangat lamban, termasuk Amerika Serikat (AS). Data-data pertumbuhan Paman Sam di Kuartal III-2009 menunjukkan arah pertumbuhan setelah dua tahun dalam resesi. "Pemulihan dalam bentuk? V? masih terjadi bahkan sangat baik di negara berkembang di Asia," tutur Mussa, mantan Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF).

Dia juga meramalkan Asia akan mengalami pertumbuhan yang semakin kuat. Negara pendorong pertumbuhan terbesar di Asia, China, berhasil membukukan pertumbuhan sekitar delapan persen pada kuartal I-2009, padahal akhir 2008 ekonominya stagnan (tumbuh 0 persen). Mussa mencatat, pada saat bersamaan sekitar enam negara di Asia melaporkan pertumbuhan antara 10-20 persen.

"Saya khawatir, awal kebangkitan kembali Asia dari penurunan yang sangat tajam pada perdagangan dan produksi industri dunia tidak akan berlanjut. Saya ragu Asia bisa tumbuh 10-20 persen secara kuartalan selama tiga hingga empat tahun mendatang," tambah Mussa.

Lee memperingatkan ada risiko jika pemerintah di Asia mengakhiri stimulus ekonomi atau memperketat kebijakan moneter sebab kebijakan ini akan membuat prospek pemulihan menjadi suram.

"Setiap pengetatan moneter dan kebijakan fiskal yang tergesa-gesa akan langsung mengganggu pemulihan yang sedang berjalan, terutama dalam situasi pemulihan ekonomi global yang saat ini berjalan lemah," ungkap Lee.

"Waktu yang tepat mengakhiri stimulus ekonomi bukan hanya sangat penting bagi negara industri, tapi juga bagi negara-negara di Asia." pungkasnya.


Ahmad Senoadi