Rabu, 30 September 2009

Survival of the Kindest

Problematic society, itu sebutan sahabat yang memenuhi kepalanya dengan kejengkelan tentang Indonesia. Lebih-lebih menjelang pemilu 2009 di mana ruang publik dibikin riuh oleh banyak sekali iklan politik. Ada memang yang menyebutnya sebagai sampah virtual. Jujur harus diakui, setiap orang punya cara bertumbuh. Hanya ego yang buru-buru menyebutnya buruk.

Pepohonan bertumbuh secara tenang, tulus, ikhlas. Sedangkan anjing kampung berkelahi baik tatkala ada makanan maupun saat tidak ada makanan. Yang satu lembut, sejuk, teduh apa pun godaannya, yang lain keras ganas di segala cuaca. Namun keduanya sedang bertumbuh.
The gift of listening
Kerangka baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagal, tinggi-rendah dan dualitas lainnya adalah cara pikiran manusia membuka pintu pengertian. Sayangnya, begitu pintunya terbuka, dualitasnya tidak ditinggalkan di belakang malah digendong ke mana-mana .
Ini serupa dengan cerita tentang seseorang yang hampir mati kelaparan di seberang sungai, kemudian diselamatkan oleh sebuah perahu. Demikian tingginya hutang budi dan kemelekatan orang ini pada perahu, kemudian ia menggendongnya ke mana-mana. Belakangan orang ini mati karena kelelahan menggendong perahu.
Dalam wajah yang berbeda, orang-orang yang menggunakan pengetahuannya, pengalamannya, tradisinya, agamanya untuk menghakimi dan menyakiti orang, sejujurnya bernasib serupa dengan penggendong perahu tadi: berjalan kelelahan menggendong perahu keyakinan. Untuk itulah, orang-orang bijaksana selalu menyediakan diri untuk belajar dan mendengar. Dengan belajar, manusia berhenti menjadi kura-kura yang menganggap rumah kecilnya adalah satu-satunya rumah yang layak huni. Dengan mendengar, manusia menyatu bersama samudera pengertian yang maha luas. Bila ada sesuatu yang terlihat aneh dan susah untuk dimengerti, kemungkinan terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat kemampuan pemahaman sekarang.
Mungkin itu sebabnya, kepala manusia memberikan pertanda bahwa telinga, mata, lobang hidung semuanya serba dua, namun mulut hanya ada satu. Dengan kata lain, pemahaman lebih mungkin terbuka bila lebih banyak mendengar, melihat dan merasakan segarnya kehidupan, sekaligus lebih sedikit berbicara. Bagi yang sudah menyentuh batas-batas rasionalitas dan mengerti kalau pengetahuan bisa menjadi penghalang pemahaman, akan tersenyum sambil berbisik: ternyata bisa mendengar adalah sebuah berkah! Seorang guru di Prancis menulis: to say you don’t know is the beginning of knowing. Menyadari diri tidak tahu adalah awal pengetahuan sekaligus keagungan.
The gift of understanding
Dengan modal mendengar dan belajar inilah, kemudian para bijaksana menelusuri sisi-sisi kehidupan. Sesuatu yang awalnya terlihat baik, belakangan menjadi buruk. Hal lain yang tadinya terlihat suci menjadi sumber belenggu yang menakutkan kemudian. Ujung-ujungya satu, tidak ada yang kekal. Semuanya seperti air sungai: mengalir dan mengalir. Sehingga tidak saja sungai yang baru setiap detiknya (karena airnya berganti terus), pengertian juga senantiasa baru dan segar.
Makanya di Timur tidak sedikit manusia yang terbebaskan dan tercerahkan hanya dengan memahami dalam-dalam makna ketidakkekalan. Pengetahuan, filsafat, agama (terutama yang sangat mencengkram sehingga membuat orang jadi fanatik) ibarat batu besar di sungai, mandek tidak bergerak. Kesediaan untuk belajar dan mendengar ibarat air mengalir di sungai, pada waktunya ia akan sampai di samudera.
Bila boleh berterusterang, kehidupan menyimpan tidak sedikit tokoh yang sudah menemukan indahnya belajar dan mendengar. Ahmad Syafii Maarif (mantan ketua umum PP Muhamadiyah) mengakhiri renungannya tentang hari raya Idul Fitri tahun 2008 dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi yang beragama Hindu. Yudi Latief (salah satu murid almarhum Nurcholis Majid) menutup refleksinya tentang hari raya Idul Fitri di tahun 2008 dengan meminjam argumen pendeta Buddha Thich Nhat Hanh. Seorang romo Katolik yang memimpin gereja di Puja Mandala Bali menghabiskan waktu tahunan di Mesir belajar filsafat Islam. Dari penuturannya mengalir wajah-wajah Islam yang indah.
HH Dalai Lama berkali-kali mengemukakan tidak tertarik untuk merubah keyakinan orang menjadi pengikut Buddha. Satu-satunya ketertarikannya adalah bagaimana membangun hubungan harmonis di antara sesama manusia. Itu sebabnya banyak pihak menyebut beliau memiliki universal appeal.
Inilah ciri-ciri manusia yang didalamnya kaya karena belajar dan mendengar. Tatkala ada pengertian yang berbeda (mengenai filsafat, agama, ideologi, tradisi) tidak buru-buru diberi judul salah. Mereka mulai dengan mendengar kemudian belajar. Kesediaan untuk mengerti itu sebuah berkah (the gift of understanding), karena melalui pengertian terbuka pintu-pintu persahabatan, persaudaraan yang menjadi modal kebahagiaan kemudian.
Ia yang sampai di puncak pemahaman ini akan berbisik: “The best theologian is the one who never speaks about God”. Berbicara menunjukkan seseorang masih dua (subyek-objek, Tuhan-manusia). Dalam pemahaman yang dibimbing persahabatan ini, ada yang menyebutkan bahwa yang dua sudah menjadi satu. Ada yang hanya senyum-senyum lembut tanpa suara. Raut mukanya memberi tanda tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Dari sini muncul pertanyaan, bila demikian bingkai pengertiannya, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru yang amat menyentuh memberi pedoman sederhana. Membantu meringankan beban penderitaan para makhluk adalah yang paling baik. Bila tidak bisa, cukup jangan menyakiti. Inilah prinsip survival of the kindest. Kehidupan menjadi tahan guncangan karena kebajikan.
Semua kehidupan dimulai dengan kebaikan pihak lain. Tatkala lahir kita berhutang pada kebaikan orang tua dll. Nanti ketika meninggal lagi-lagi harus bergantung pada kebaikan orang lain. Kita didoakan, dibikin upacara oleh orang lain. Dan bila diantara kelahiran dan kematian lupa mengisinya dengan kebaikan, itu berarti gagal membayar hutang kebaikan. Makanya ada yang menulis: compassion is the best protection. Welas asihlah penjaga kehidupan yang sesungguhnya. Tidak saja menjaga sekarang, tetapi juga menjaga sampai setelah kematian.
Perhatikan kehidupan Mohammad Yunus, Nelson Mandela, Dalai Lama yang tanpa senjata, tanpa agen rahasia, namun bercahaya ke mana-mana. Boleh saja ada orang hidup penuh penghakiman (baik untuk diri, buruk untuk orang), di jalan kebajikan semuanya menghadirkan pelajaran. Sebagai hasilnya, tidak saja orang baik terlihat indah. Iklan-iklan politik juga indah. Semuanya sedang bertumbuh, semuanya hanya cara guru membimbing.
Gede Prama