Selasa, 17 Januari 2012

Indonesia 2012

Pada akhir Desember 2011, dua koran terdepan di Indonesia memuat sebuah iklan besar tentang Keluarga BUMN, dengan judul 'Indonesia Itu Mengecewakan'.

Terinspirasi dari humor sarkastik Chatib Basri, salah satu ekonom muda paling cerdas di Indonesia, iklan tersebut adalah sebuah satir dari kritik atas perekonomian Indonesia, yang tumbuh sebesar 6,5% di tahun 2011.

Iklan ini menyatakan, pertumbuhan yang "mengecewakan" itu bagi orang yang optimis (yang merasa bahwa Indonesia sebenarnya bisa mencapai lebih baik lagi), dan juga yang pesimis (yang berharap perekonomian Indonesia akan merosot).

Kemudian iklan ini menyimpulkan dengan pernyataan bahwa Indonesia hanya mengecewakan bagi yang "hobinya dikecewakan".

Walaupun lucu dan membuat tersenyum, iklan ini menandai sebuah persimpangan jalan bagi Indonesia di tahun yang baru ini. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Indonesia telah berhasil melalui masa krisis dengan sukses.

Hampir 15 tahun sejak krisis ekonomi Asia dan lengsernya Suharto, raksasa Asia Tenggara telah menunjukkan pemulihan yang mencengangkan, yang ditandai dengan dua hal.

Yang pertama, peninjau rating internasional Fitch Ratings, pertengahan Desember lalu, telah menaikkan ratingutang Indonesia dari BBB- ke BB+, menandakan kembalinya Indonesia ke dalam investment grade, setelah kehilangan pada 1997.

Selanjutnya, Produk Domestik Bruto per kapita telah melampaui USD3000 per tahun.

Walaupun perkembangan ini menggembirakan, ekonomi bukanlah disiplin yang mudah ditebak, dan keberhasilan Indonesia saat ini bukanlah jaminan kemakmuran di masa depan.

Cepatnya laju kemerosotan Eropa dan Amerika Serikat adalah bukti bagaimana roda keberuntungan bisa begitu cepat berputar, dan betapa pentingnya perencanaan matang ke depan.

Dalam hal ini, kegagalan kebijakan Barat yang sudah lama terjadi: diperkenalkannya mata uang Euro tanpa penjagaan politik yang cukup untuk memastikan kesinambungannya, serta borosnya Amerika Serikat - yang berujung pada utang yang parah - telah kembali untuk menghantui bangsa-bangsa ini.

Lebih jauh lagi, semakin jelas terlihat bagaimana negara-negara ini telah merusak etos kerja dan mengubah dinamika sosial mereka.

Saat ini, Indonesia sedang dihadapkan pada pilihan yang mirip secara fundamental. Para pemimpinnya punya kesempatan untuk merencanakan kelangsungan Indonesia dalam jangka panjang dan/atau membiarkan kesempatan ini lewat. Apa yang sebenarnya sedang dipertaruhkan?

Pertama, harus ditekankan bahwa perekonomian Indonesia akan terus tumbuh. Ironisnya, Indonesia sedang menikmati keuntungan dari rendahnya investasi di masa lalu, tapi juga dividen demografis (dengan sekitar 29% dari populasi sebesar 240 juta jiwa berada di bawah usia 14 tahun), dan persediaan sumber daya alam yang kaya, dengan demand yang semakin tinggi dari China dan India.

Tapi Indonesia harus tetap bertanya pada diri sendiri apakah ia memanfaatkan critical mass yang sedang terjadi ini, untuk meletakkan dasar dari pertumbuhan dan kemakmuran di masa depan, atau hanya menciptakan sebuah gelembung besar yang sewaktu-waktu dapat meletus. Walaupun menjanjikan, perekonomian Indonesia masih menghadapi dua rintangan besar.

Di satu sisi, perekonomian yang semata-mata didorong oleh sumber daya alam sulit untuk dipertahankan dalam jangka panjang. Harga yang harus dibayar oleh lingkungan hidup Indonesia mungkin akan terlalu mahal.

Lebih jauh lagi, bila Indonesia terlalu menggantungkan diri pada kekayaan mineral, ini akan membuat kita malas berinovasi atau meningkatkan nilai tambah. Pertumbuhan Indonesia tidak dapat dipertahankan bila mereka tidak mendiversifikasi pasar ekspornya. Indonesia sedang mempertimbangkan pembatasan ekspor sumber daya alamnya seperti batu bara dan gas alam demi memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan industri arus bawahnya.

Kemudian ada masalah pasar domestik yang sangat luas. Sekali lagi, yang menjadi tantangan di sini adalah bagaimana mengembangkan sektor industri yang kompetitif di kancah global, berhadapan dengan para raksasa dari Asia Timur.

Walaupun harga adalah faktor penting, ada juga faktor selera konsumen yang harus dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan. Masih banyak lagi yang harus dilakukan untuk membuat rakyat Indonesia sadar akan pentingnya mendukung produk dan perangkat dalam negeri.

Kita dapat mendeteksi adanya usaha di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang, untuk kembali pada produksi skala kecil di bidang consumer goods yang juga memberi penekanan pada lokasi, desain dan komponen etika (yaitu "jual beli secara jujur" dan "organik").

Kita hanya perlu melihat seberapa menguntungkannya pasar bagi produk-produk ciri khas Perancis - seperti sampanye, foie gras, dan brandy Armagnac - untuk mengerti potensi dari pendekatan itu.

Untungnya, Indonesia tampak ada kemajuan dalam hal ini, seperti gerakan "100% Cinta Indonesia"yang digagas Kementrian Perdagangan di tahun 2009. Menariknya, gerakan ini juga menyebar ke area Indonesia lainnya.

Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) telah menggalakkan industri skala kecil dan menengah untuk mempromosikan merk-merk lokal di kotanya. Contohnya, dia mendukung Batik Keris dan Danar Hadi yang terkenal dari Solo (juga produsen skala kecil) untuk berkompetisi dengan merk tekstil luar negeri.

Indonesia - seperti yang sudah saya katakan tadi - sedang berada di persimpangan jalan. Bisa saja ini hanya gembar-gembor yang lama-lama akan memudar.

Tapi, dengan keberanian, pemikiran ke depan, dan yang paling penting - daya imajinasi - Indonesia bisa mendapatkan tempatnya di garis depan untuk mengubah dunia.


Oleh: Karim Raslan