Rabu, 03 Juni 2009

Tantangan Ekonomi 2010

Jika semua proses Pemilu 2009 berjalan lancar, bangsa Indonesia akhir 2009 ini dijadwalkan akan memiliki presiden baru.

Siapa pun presiden yang terpilih nanti, yang pasti dalam satu tahun pertama masa pemerintahannya harus siap bekerja keras karena dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi yang cukup berat di 2010. Tantangan tersebut bisa berasal dari faktor global maupun domestik.

Dari sisi global, tantangan terbesar adalah kemungkinan gagalnya program stimulus ekonomi di berbagai negara yang bisa berakibat pada terganggunya proses pemulihan ekonomi dunia. Seperti diketahui, dalam rangka menahan derasnya arus krisis, banyak negara mengucurkan stimulus ekonomi di 2009.

Nilai total stimulus ekonomi global ini diperkirakan mencapai lebih dari USD2 triliun. Kebijakan stimulus ini telah menyebabkan pembengkakan defisit anggaran pada masing-masing negara yang pada saatnya harus dibiayai melalui instrumen surat utang atau obligasi negara.

Ini artinya, pada 2010 akan terjadi kebutuhan pembiayaan secara global yang berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat dalam perebutan likuiditas. Berbagai negara akan berlomba menawarkan suku bunga lebih tinggi untuk menarik perhatian pasar. Perang suku bunga obligasi negara apalagi dalam konteks global, tentu berdampak negatif bagi perekonomian.

Selain menciptakan persaingan tidak sehat di pasar finansial, hal ini juga berpotensi menggerus anggaran negara karena meningkatkan beban utang. Bagi sektor korporasi, kondisi ini akan memberikan tekanan dalam mencari pembiayaan dari publik (crowding-out effect).

Sementara bagi perbankan, kondisi ini akan memicu naiknya suku bunga bank yang pada gilirannya akan meningkatkanbiaya dana (costoffunds) dan meningkatkan risiko kredit. Berbagai dampak di atas akan semakin parah jika kebijakan stimulus ekonomi global ternyata mengalami kegagalan, baik karena distorsi kebijakan maupun inefisiensi anggaran. Sebab, beban utang yang tinggi tidak disertai outputekonomi yang tinggi pula.

Saving-Invesment Gap

Tantangan global lainnya dalam 2010 adalah terjadinya ketidakseimbangan dalam saving investment gap (S-I gap). Secara konsep, S-I gap atau resource gap terjadi jika gross domestic saving (tabungan) lebih besar daripada gross capital formation (investasi).

Untuk mengukur S-I gap, digunakan perilaku ekonomi dari empat komponen, yakni rumah tangga, perusahaan, pemerintah, dan bank sentral. Sementara satuan yang digunakan adalah nilai relatif, yaitu persentase tabungan dan investasi terhadap PDB. Idealnya, semua tabungan yang tersedia dalam suatu negara harus dipergunakan untuk membiayai investasi atau S-I gap adalah nol.

Jika S-I gapsemakin besar,mencerminkan kondisi yang semakin buruk karena menunjukkan banyaknya uang menganggur (excess liquidity) yang tidak dimanfaatkan untuk investasi di sektor riil. Dalam 10 tahun terakhir, perilaku S-I gap antara negara berkembang dan negara maju tampak bertolak belakang.

Di negara berkembang, S-I gap bernilai positif alias banyak dana menganggur di tabungan dan belum dimanfaatkan untuk kebutuhan investasi. Sebaliknya,di negara maju,S-I gap cenderung bernilai negatif. Artinya, masih besar sekali pendanaan (tabungan) yang dibutuhkan untuk membiayai investasi.

Selanjutnya, kondisi ini telah memicu antusiasme dari negara maju untuk menarik dana dari negara berkembang yang ditandai dengan perkembangan pesat dalam inovasi produk finansial di negara-negara maju, termasuk dalam bentuk sekuritisasi aset dan penciptaan instrumen derivatif.

Sayangnya, dewasa ini antusiasme tersebut telah kebablasan dan menyebabkan negara maju mengabai kan prinsip kehati-hatian mengembangkan produk finansialnya. Peranti hukum di pasar finansial yang masih lemah (misalnya belum ada aturan jelas mengenai hedge funds) semakin membuka akses negara maju untuk melakukan rekayasa finansial demi menarik likuiditas dari negara berkembang.

Kondisi demikian, jelas bisa menciptakan distorsi dan menyebabkan ketidakstabilan di pasar global. Akibatnya, krisis sulit pulih dan bisa berulang kembali. Agar tidak terus menjadi korban, negara berkembang termasuk Indonesia harus proaktif menyerukan reformasi sistem finansial global dan meningkatkan aspek surveillancedi pasar finansial.

Kondisi Infrastruktur

Dari sisi domestik, tantangan 2010 diperkirakan berasal dari dua hal, yaitu masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan dan kondisi infrastruktur yang belum memadai. Pada 2008, angka pengangguran terbuka mencapai 8,5 persen dan angka kemiskinan 15,4 persen.

Semakin kuatnya intensitas krisis yang diperkirakan terjadi pada triwulan III dan IV-2009, berpotensi menambah angka pengangguran dan kemiskinan di tahun 2010. Ini terjadi karena di tengah turunnya permintaan global, banyak perusahaan di industri manufaktur melakukan rasionalisasi atau PHK massal.

Untuk infrastruktur, selain kualitasnya yang belum memadai, kuantitas infrastruktur di Indonesia juga sangat rendah jika dibandingkan negara lain yang sebaya. Tingkat konsumsi listrik perkapita, misalnya. Jika dibandingkan Thailand, konsumsi listrik perkapita Indonesia hanya sebesar ?- nya dibanding China sekitar 1/2- nya dan dibanding Malaysia hanya 1/8-nya.

Gambaran serupa juga terjadi pada berbagai infrastruktur lainnya, seperti penyediaan air bersih, panjang jalan, tingkat kepadatan jalan, jaringan telepon, dan sanitasi perkotaan. Tentunya, selain mengurangi daya tarik investor, ketersediaan infrastruktur secara tidak memadai akan membatasi aktivitas ekonomi masyarakat yang pada gilirannya melemahkan pencapaian pertumbuhan ekonomi. Adalah menjadi tantangan bagi pemerintah baru di 2010 nanti untuk bisa menyelesaikan berbagai tantangan ekonomi di atas secara baik.


Muhammad Romli
Analis Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu