Kamis, 09 Februari 2012

Dampak Perbaikan Peringkat Investasi

Dampak kenaikan peringkat utang Indonesia menjadi layak investasi (investment grade) terhadap rupiah baru akan terlihat dalam jangka panjang, tetapi pengaruhnya terhadap transaksi investor asing di pasar saham dan pasar obligasi domestik mulai tampak.

Menurut Bloomberg, pada periode 15 Desember 2011 –ketika Fitch Ratings mengumumkan kenaikan peringkat utang Indonesia– hingga 27 Januari 2012 nilai tukar rupiah menguat 1,28% ke level Rp8.976 per dolar Amerika Serikat (AS).

Pada periode tersebut rupiah rata-rata diperdagangkan di level Rp8.777 per dolar AS, lebih tinggi dibanding rata-rata periode 14 Desember 2010 hingga 14 Desember 2011 (year-on-year) di level Rp8.772 per dolar AS.

Secara umum nilai tukar rupiah pasca-kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Moody’s Investors Service pada 18 Januari 2012 menunjukkan tren penguatan. Keputusan Fitch dan Moody’s menaikkan peringkat utang Indonesia menambah kepercayaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Aliran modal asing ke dalam negeri (capital inflows) diprediksi akan bertahan lebih lama. Pemberian investment grade bagi Indonesia sesuai dengan ekspektasi pasar. Alhasil, tren penguatan rupiah diperkirakan terjadi dalam enam bulan ke depan.
Selain faktor investment grade, penguatan rupiah juga dipicu kebijakan Bank Indonesia yang memperlebar koridor batas bawah suku bunga operasi moneter (deposit facility) menjadi 200 basis poin di bawah BI Rate dari 150 basis poin di bawah BI Rate.

Kebijakan tersebut membuat penempatan dana di BI semakin tidak menarik karena imbal hasil (yield) yang diberikan lebih rendah. Sementara itu suksesnya lelang obligasi pemerintah dan rebound-nya bursa saham nasional mengindikasikan aliran modal asing di pasar modal dan pasar obligasi terus bertambah meski belum diikuti oleh penguatan rupiah.

Jumlah penawaran yang masuk pada lelang Surat Berharga Negara (SBN) sempat menyentuh Rp50,13 triliun atau mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah lelang SBN. Pemerintah memenangkan penawaran Rp10,5 triliun, melampaui target indikatif yang sebesar Rp7 triliun. Momentum ini menjadi alasan pemerintah melakukan lelang obligasi sebanyak mungkin pada awal tahun.

Memang aliran modal asing ke pasar saham meningkat secara bertahap sejak Fitch menaikkan peringkat utang Indonesia. Sejak itu pula, investor asing cenderung melakukan akumulasi beli yang terus berlanjut setelah Moody’s juga menaikkan peringkat utang Indonesia.

Berdasarkan data PT. Bursa Efek Indonesia (BEI), total nilai akumulasi beli bersih (net buy) investor asing dari 16 Desember 2011 hingga 26 Januari 2012 mencapai Rp5,66 triliun. Pada Januari 2012 investor asing melakukan akumulasi net buy Rp3,48 triliun. Sementara pada Januari 2011 investor asing melakukan akumulasi jual bersih (net sell) Rp4,01 triliun. Ketika itu investor asing khawatir berinvestasi di Indonesia terkait ancaman inflasi tinggi yang dipicu kenaikan harga pangan.

Pada obligasi pemerintah, kepemilikan investor asing mulai bertambah setelah Moody’s menaikkan peringkat utang Indonesia. Nilai kepemilikan investor asing bertambah Rp5,63 triliun menjadi Rp228,62 triliun pada 26 Januari 2012 dibandingkan nilai kepemilikan investor asing pada 18 Januari 2012 senilai Rp222,99 triliun.

Yang menarik, dalam kondisi tertentu bank sentral tidak akan melakukan intervensi dengan melepas valuta asing ke pasar untuk menjaga stabilitas rupiah. Langkah tersebut dinilai tidak efektif jika pelarian dana terjadi secara masif terutama ketika investor asing melepas saham dan surat berharga negara.

Hanya saja, BI akan melakukan intervensi langsung dengan melakukan pembelian surat berharga negara. Di sini bank sentral melakukan pembelian SBN setiap kali ada penjualan SBN di pasar sekunder. Surat utang tersebut kemudian digadai ulang (reverse repo) kepada bank. Langkah ini akan menguntungkan karena bank sentral tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk membayar operasi moneter.

Jadi, dalam first round effect, dampak perbaikan peringkat terlihat di sektor keuangan. Yang diharapkan adalah second round effect-nya, berupa lonjakan investasi langsung (Foreign Direct Investment / FDI) sehingga volume dan kegiatan sektor riil bisa lebih besar. Namun demikian, investasi langsung akan segera masuk jika dan hanya jika persoalan di level mikro diselesaikan terlebih dahulu.

Yang pertama, kebijakan pembatasan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi hingga sekarang masih menjadi polemik. Ini lantaran muncul pandangan opsional baru berupa kemungkinan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp500 hingga Rp1.500 per liter.

Yang kedua, kebijakan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 10% diperkirakan bakal menambah beban operasional pelaku usaha. Yang ketiga, kondisi infrastruktur yang buruk juga menaikkan ongkos transportasi yang ditanggung produsen. Yang keempat, kondisi alam yang relatif tidak ramah–semisal musibah banjir, gelombang laut yang tinggi dan perubahan cuaca ekstrim—juga mengganggu distribusi barang dan jasa.

Kombinasi problem pertama hingga keempat di atas berdampak pada lonjakan beban yang pada gilirannya akan mendongkrak harga output di tingkat konsumen. Ujung-ujungnya inflasi dari sisi pricing bakal melonjak. Pada gilirannya BI akan tergoda untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI rate. Paralel dengan itu, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) juga bakal menaikkan suku bunga maksimal penjaminan (LPS rate).

Itulah problem-problem yang secara nyata terlihat dan membutuhkan penyelesaian segera agar peringkat layak investasi bisa memberika manfaat langsung bagi perekonomian.

Di samping persoalan di atas, kondisi infrastruktur lunak seperti regulasi yang terkait dengan pembebasan tanah masih menyisakan persoalan. Memang sudah hadir undang-undang tentang pembebasan tanah, namun dalam eksekusinya masih diperhadapkan dengan regulasi lokal seperti hak ulayat yang mengakui tanah milik adat. Dalam pelaksanaannya sengketa soal tanah ini mengendurkan minat investor menanamkan modalnya.

Persoalan masih ada dan juga harus dituntaskan, yakni maraknya aksi unjuk rasa pekerja di berbagai kota menentang penetapan standar upah minimum. Jika soal yang satu ini juga tidak diselesaikan akan mengurangi minat investor menanamkan modalnya. Dengan demikian, “bonus” predikat investment grade akan menjadi tidak bermakna jika persoalan infrastruktur keras dan lunak di atas tidak dituntaskan segera.


Business News