Senin, 06 Februari 2012

Investment Grade Dan Nasib Pekerja

Perolehan predikat investment grade yang membanggakan dari Fitch Rating dan Moody’s Investor Services untuk Indonesia barangkali akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak ditindaklanjuti dengan berbagai perbaikan di sisi mikro agar investasi melonjak signifikan.

Salah satu persoalan mendasar yang penting dan harus segera dituntaskan adalah terkait dengan maraknya aksi unjuk rasa pekerja akhir-akhir ini. Penetapan standar upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dinilai oleh para pekerja belum memenuhi harapan mereka. Patokan yang ditetapkan dinilai berada di bawah standar kelayakan hidup mereka sebagai pekerja.

Pekerja menilai standar upah minimum yang mereka peroleh terbilang rendah. Celakanya, oleh pemerintah rendahnya upaha pekerja ini dianggap sebagai keunggulan dibandingkan dengan standar upah minimum di negara-negara tetangga seperti China dan Vietnam.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai standar upah minimum pekerja di Indonesia sudah memenuhi kebutuhan pekerja. Di sisi lain, pekerja menilai standar upaha minimum belum sesuai keinginan mereka. Karena kedua belah pihak tetap bersikukuh dengan pandangan masing-masing, maka timbullah ketegangan. Hubungan industrial yang diharapkan harmonis pun kehilangan makna.

Terlihat di beberapa daerah pekerja melakukan aksi unjuk rasa, bahkan dalam batas-batas tertentu melakukan aksi pembangkangan (disobidience) berupa pemblokiran jalan. Celakanya, kisruh mengenai upah pekerja ini seperti ajang musiman atau tahunan, yang akan berdampak serius pada iklim investasi dan daya saing nasional.
Hal ini terjadi karena tiga faktor. Pertama, lemahnya kapasitas kelembagaan di level Dewan Pengupahan yang terdiri atas unsur tripartit, yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah. Sehingga ketidakpuasan atas ketetapan upah membuka peluang di tempuh melalui jaur lain di luar forum tripartit.

Sebagai contoh, dalam kasus yang terjadi di Bekasi, kalangan pengusaha mem-PTUN-kan keputusan upah, sedang pekerja merasa tidak dihormati kesepakatannya, lalu mengerahkan aksi massa.

Kedua, paradigma upah dalam hubungan industrial masih dinilai sebagai biaya atau pengeluaran (cost), bukan bagian dari investasi yang dapat memicu produktivitas. Alhasil, pengusaha selalu berorientasi menekan biaya dan menuntut produktivitas yang tinggi. Jadinya tidak keinginan pekerja dengan pengusaha tidak selaras.
Ketiga, ambiguitas pemerintah sebagai ”wasit” antara pengusaha dan buruh cenderung membiarkan kedua unsur bertarung begitu saja dan terkesan mengabaikan dampak-dampaknya.

Persoalan menjadi lebih rumit ketika pekerja merasa upah mereka dibanding sesama pekerja di China dan Vietnam ternyata lebih murah. Inilah yang juga memantik pemikiran kalau pengusaha hanya mementingkan dirinya sendiri ketimbang kepentingan pekerja.

Dalam kasus ini, mestinya semua pihak saling introspeksi, jangan memperuncing polemik di luar konteks penyelesaian subtansi masalah, yaitu ketetapan upah secara adil dan bermartabat. Sehingga harmonisasi hubungan industrial kembali terjalin dan dapat memberi kontribusi pada ketahanan industri serta daya saing nasional.

Intinya, jangan sampai terjadi ironi pada negeri ini, di mana ketika pemerintah tengah memamerkan keberhasilan meraih investment grade, tetapi jantung iklim investasi, yaitu hubungan industrial, terkoyak karena masalah mendasar yakni penetapan standar upah minimum.

Dalam penetapan standar upah minimum, selain memperhitungkan tingkat kebutuhan yang wajar dari pekerja untuk dapat hidup layak di tempatnya berada, juga mempertimbangkan kemampuan perusahaan. Jalan tengah yang bisa dipakai adalah mengupayakan penyelarasan tuntutan atas standar upah minimum.

Sebagai contoh, kalau tahun ini standar upah minimal dinilai belum memenuhi harapan pekerja karena berbagai pertimbangan seperti keterbatasan kemampuan perusaahaan, maka dalam penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ditandatangani oleh unsur pemberi kerja (pimpinan perusahaan) dengan perwakilan pekerja (dalam hal ini biasanya diwakili oleh Serikat Pekerja), dicantumkan rencana proyeksi penetapan standar upah minimal yang sesuai dengan kewajaran. Juga ditetapkan kapan hal itu wajib dilaksanakan oleh pemberi kerja dengan persyaratan yang jelas. Dengan cara demikian, maka perusahaan akan berupaya melakukan berbagai cara untuk dapat memenuhi isi PKB sehingga tercapailah solusi yang menang-menang.

Kesepakatan antara pemberi kerja dengan pekerja itu akan memberikan sebuah kepastian sehingga mendorong motivasi pekerja untuk bekerja lebih produktif sehingga kinerja keuangan perusahaan membaik. Ketika kinerja keuangan perusahaan membai itulah penyesuaian standar upah minimal pekerja bisa diterapkan sesuai dengan bunyi PKB.

Jadi rumus penyelesaian kekisruhan antara pekerja dengan pemberi kerja adalah komunikasi dan perundingan yang konstruktif dan intensif. Tidak boleh ada rasa curiga satu pihak dengan pihak yang lain. Kesamaan visi, misi dan tujuan harus dipaterikan dalam benak pekerja dan pemberi kerja sehingga tercipta harmoni yang pada gilirannya akan mendongkrak kinerja keuangan perusahaan.

Pada prinsipnya pemberi pekerja membutuhkan pekerja. Sebaliknya pekerja juga membutuhkan pekerjaan yang asalnya dari pemberi kerja. Ketika dua kepentingan itu bertemu dalam suasana yang konstruktif, maka tidak akan ada lagi perbedaan pandangan yang destruktif.

Dari sinilah persemaian benih-benih persekutuan yang kuat antara pemberi kerja dengan pekera tercipta. Dari sini pulalah predikat investment grade yang sudah diperoleh dengan susah payah memiliki makna yang sesungguhnya, yakni memberikan harapan lebih baik kepada perusahaan selaku pemberi kerja beserta seluruh pekerjanya.


Busniess News