Sabtu, 29 November 2008

Keheningan Dan Kata-Kata

Sebuah keheningan bukanlah sebuah kebisuan. Kita kerap terjebak dalam tafsiran yang salah tentang itu. Malam yang hening bukanlah malam yang bisu. Ia adalah keengganan akan sebuah simbol kata-kata yang sangat terbatas, namun mengagungkan sebuah esensi makna kehidupan. Malam yang sunyi adalah malam yang penuh dengan ilustrasi musik kehidupan yang semarak: suara binatang malam yang berbisik diiringi desah angin yang terpendam. Ia merupakan denyut kehidupan natural nan mistik. Apakah kita pernah sadar bahwa sesungguhnya keheningan adalah sebuah dialog, atau mungkin monolog………

“Hello darkness, my friend. I come to talk with you again”, demikian Art Garfunkel bernyanyi lirih dalam sebuah balada yang kini menjadi klasik. “I come to talk with you again…”Ia mencetuskan nyanyian dari sebuah keheningan, the Sound of Silence, yang ngetop tahun 70-an. Dalam salah satu novelnya, Herman Hesse, menulis kisah tentang Siddharta (tetapi yang pasti bukan Siddharta Gautama). Siddharta yang ini agaknya mirip dengan Siddharta Gautama yang kelak akan menjadi Buddha. Ia bertekad menyempurnakan kehidupan spiritualnya. Ia meninggalkan seluruh kehidupan duniawinya, jatuh bangun untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi. Ia berguru dengan semua orang yang dianggapnya patut untuk didengarkan. Pada akhirnya, Siddharta tercerahkan hanya dengan mendengarkan gemercik air yang mengalir.

Dalam novel tersebut, Herman Hesse menuturkan melalui tokoh rekaannya – Siddharta, bahwa kebijaksanaan (sesungguhnya) tidak dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Hanya pengetahuanlah yang dapat diterjemahkan dalam bait kata tetapi kebijaksanaan tidak! Kita hanya dapat menemukannya, hidup dengannya, diperkuat olehnya, menciptakkan keajaiban melaluinya, tetapi tidak dapat mengomunikasikan dan mengajarkannya.
Siddharta agaknya benar. Ada baiknya kita belajar dari sebuah keheningan. Memilih untuk tidak menghias diri dengan jutaan kata, yang kadang memusingkan kepala. Sebuah keheningan kadang lebih agung dan berkekuatan. Sebagaimana Siddharta yang bisa mencapai pencerahan dari gemercik air yang mengalir.
Bait kata adalah sebuah keterbatasan ekspresi penghayatan. Buddha Sakyamuni mengatakan Nibbana, tidak terkatakan dan tidak terdefinisikan. Jika terkatakan dan terdefinisikan, ia bukanlah Nibbana. Sama dengan kebijaksanaan yang dituturkan oleh Herman Hesse tadi. Seorang Buddha telah mengatasi kosmetik kata-kata. Ia diam dalam Maha Keheningan nan Bijaksana.
Ketika kita masih bergulat dengan kata-kata, kita sesungguhnya bergulat dengan sebuah keterbatasan. Tak akan ada akhir dari jutaan kata-kata yang kita lontarkan. Kata-kata akan terus berproses, menyesaki alam pikiran – datang dan pergi seperti angin yang berlalu.
Menjelang akhir hayatnya yang syahdu, Chairil Anwar - penyair kebanggaan kita semua, mungkin menyadari hal ini. Di atas sehelai kertas yang lusuh, ia menulis bait puisinya yang terakhir.”…tetap ada yang tak terucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah”.

Oleh: Rudiyanto Tan Wijaya