Rabu, 26 November 2008

Menimbang Lagi Sistem Bretton Woods

Hari-hari ini kita mengetahui hasil pertemuan puncak Kelompok 20 (G-20), di mana Indonesia ikut berpartisipasi di dalamnya. Pertemuan yang digagas para pemimpin Eropa itu untuk membahas langkah-langkah yang diperlukan demi mengatasi krisis keuangan global.

Mengingat salah satu faktor perusak dari krisis yang terjadi dewasa ini adalah tingkat fluktuasi nilai tukar antarmata uang global, jadi bukan hanya rupiah, banyak pihak yang terpikir kembali untuk menghidupkan Sistem Bretton Woods yang sudah bubar pada 1971 lalu. Untuk mengetahui efektivitas sistem ini dalam mengatasi krisis, perlu dicermati terlebih dulu apa yang dimaksud dengan sistem tersebut dan bagaimana cara bekerjanya?

Sistem Bretton Woods lahir karena kebutuhan adanya sistem moneter yang andal untuk mengatasi dampak berakhirnya Perang Dunia II. Berdasarkan pengalaman Perang Dunia I, sesudah perang adalah masa yang sangat berat bagi perekonomian dunia. Kebangkitan perekonomian negara-negara yang terlibat perang, seperti peningkatan produksi bahan makanan dan industri, akan membuat produksi global meningkat cepat, jauh melebihi kebutuhan.

Keadaan inilah yang melahirkan terjadinya proteksi dan devaluasi yang bergantian terus-menerus (competitive devaluation). Kebijakan suatu negara pada akhirnya hanyalah ingin melindungi negaranya sendiri dan tidak memedulikan dampaknya bagi perekonomian negara lain. Istilah yang tepat untuk menggambarkan itu adalah Beggar thy neighbor policy.

Berdasarkan pengalaman tersebut, sebelum Perang Dunia II selesai, sebanyak 44 negara berkumpul di Desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS), tepatnya pada 1-22 Juni 1944. Pertemuan panjang tersebut, yang antara lain dihadiri John Maynard Keynes dari Inggris dan Dexter White dari AS, akhirnya mengambil putusan untuk membangun Sistem Bretton Woods, di mana pendirian Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) menjadi salah satu pilar.

Sistem moneter baru tersebut mendasarkan diri pada sistem nilai tukar tetap terhadap dolar AS, sedangkan dolar AS dikaitkan dengan emas, di mana setiap 1 ons emas (sekira 30 gram) ditetapkan harganya sebesar USD35. Dengan cara ini, nilai tukar antarmata uang di luar dolar AS juga menjadi tetap.

Konferensi tersebut juga melahirkan Bank Dunia dalam bentuk International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) serta organisasi perdagangan dunia (semula dirancang dalam bentuk International Trade Organization), yang kemudian muncul dalam bentuk General Agreement in Tariffs and Trades (GATT) pada 1947.

Baru pada 1995, World Trade Organization (WTO ) terbentuk. Sistem nilai tukar yang sedemikian mendasarkan diri pada premis bahwa setiap negara harus menjaga keseimbangan neraca pembayarannya. Jika terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran (terutama ekspor-impor), perlu dilakukan langkah perbaikan, baik yang sifatnya sementara (misalnya dengan bantuan IMF) maupun bersifat lebih struktural, yaitu melalui devaluasi atau revaluasi.

Sistem ini pada akhirnya memang membawa stabilitas yang lebih baik dalam perekonomian dunia, meskipun di sana-sini terjadi penyesuaian nilai tukar maupun penyesuaian struktural perekonomian berbagai negara.

Selama dua puluh lima tahun setelah berlakunya sistem tersebut, terjadilah apa yang disebut dengan the golden years, atau masa keemasan perekonomian global, kecuali Inggris yang menderita sakit parah karena berubahnya peran dari semula sebagai jangkar perekonomian dunia, di mana poundsterling sebelumnya dipergunakan sebagai mata uang utama dunia, menjadi "hanya" sekadar anggota dari sistem.

Lebih dari dua puluh tahun, perekonomian Inggris sakit dan harus menjadi pasien IMF berkali-kali. (Inggris juga merupakan pasien IMF pertama kali pada September 1947).

Hancurnya Sistem Bretton Woods

Namun, sistem ini pada akhirnya terpaksa ditinggalkan setelah terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran yang sangat akut dalam perekonomian AS. Terutama karena perang Vietnam yang menyebabkan pengeluaran besar-besaran di AS, perekonomian Amerika harus menanggung defisit neraca pembayaran yang besar.

Lantaran sistemnya mengaitkan dolar AS dengan harga emas, kenaikan harga emas global (di luar sistem moneter) menyebabkan terjadinya proses arbitrase dari dolar AS ke emas. Negara-negara Eropa yang memiliki banyak cadangan devisa, kemudian menukarkan dolar AS-nya dengan emas ke AS, lalu emas tersebut dijual ke pasar dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Akibatnya, persediaan emas di Fort Knox, AS menjadi turun drastis dan bukan tidak mungkin akan habis sama sekali dalam waktu yang tidak terlalu lama. Melihat kekhawatiran tersebut, AS terpaksa meminta bantuan IMF sebanyak dua kali, yaitu pada 1966 dan 1968. Kendati demikian, proses arbitrase emas tersebut berlangsung dengan deras.

Pada akhirnya, Presiden Nixon memutuskan untuk tidak mengaitkan nilai dolar AS dengan emas, dalam arti AS tidak lagi berkewajiban untuk menukar dolar AS yang dimiliki negara lain dengan emas. Putusan ini dilakukan pada 15 Agustus 1971, yang secara resmi berarti mengakhiri sistem Bretton Woods.

Prospek untuk Hidup Kembali

Setiap orang yang berpikir bahwa sistem Bretton Woods tersebut dapat dihidupkan kembali, tentunya didorong romantisme masa-masa keemasan tersebut.

Sistem yang dipergunakan untuk mengatasi perekonomian global yang bakal saling menjegal, barangkali bisa diterapkan dalam keadaan dewasa ini, di mana ancaman terjadinya proteksi yang bersaing akan tinggi sekali. Kendati demikian, banyak orang tidak melihat bagaimana hancurnya sistem tersebut lantaran tidak sempurnanya perekonomian negara yang menjadi jangkarnya, dalam hal ini AS. Jika sistem semacam itu ingin dicoba lagi, beberapa hal barangkali harus dijawab terlebih dahulu. Siapakah yang akan menjadi jangkar sistem ini?

Amerika Serikat dengan dolar AS jelas tidak lagi mungkin untuk menjadi jangkar. Perbaikan perekonomian negara tersebut membutuhkan waktu lama. Lalu, apakah akan ditunjuk Uni Eropa dengan euronya? Jika ini terjadi, masih akan banyak permasalahan yang timbul, termasuk disrupsi yang akan terjadi dengan perekonomian AS (sebagaimana terjadi dengan Inggris saat penerapan sistem tersebut pada 1945.) Apakah sistem ini tetap cocok di tengah maraknya lembaga keuangan dunia yang sangat spekulatif, seperti hedge funds dan sebagainya?

Jika terjadi potensi ketidakstabilan, hedge funds justru akan memanfaatkan keadaan tersebut dengan bertaruh bahwa suatu mata uang akan mengalami devaluasi. Inilah yang terjadi pada 1991 ketika Soros berspekulasi atas mata uang poundsterling. Apakah negara atau kelompok perekonomian, terutama yang menjadi jangkar tersebut, akan memiliki disiplin yang diharapkan sehingga pada akhirnya sistem tersebut dapat berjalan langgeng (sustainable)?

Dengan melihat itu semua, perlu pemikiran yang lebih dalam jika kita ingin menempuh jalan tersebut kembali. Namun, "waktu" justru menjadi komoditas yang sangat langka dewasa ini lantaran krisis keuangan global dewasa ini justru memerlukan langkah yang cepat dan efektif.

Oleh : Cyrillus Harinowo, Rektor ABFII Perbanas