Jumat, 28 November 2008

Madu & Racun atau Air & Pupuk?

Seseorang yang bijak suatu ketika diancam akan dibunuh oleh seorang penjahat. Namun sebelum penjahat itu melaksanakan niatnya, orang bijak memintanya agar mengabulkan permintaannya yang terakhir.

“Potonglah dahan pohon itu,” kata si orang bijak.

“Satu tebasan pedang cukup untuk memotongnya.” Penjahat pun kemudian bertanya, “Apa lagi?”

Orang bijak berkata, ”Kembalikan dahan itu ke pohonnya.”

Penjahat itu tertawa, ”Engkau gila. Kau pikir ada orang yang dapat melakukan hal itu?”

”Sebaliknya, engkaulah yang gila,” ujar si orang bijak. ”Engkau merasa berkuasa karena dapat melukai dan menghancurkan. Itu pekerjaan anak-anak. Orang yang sungguh berkuasa tahu cara menciptakan dan menyembuhkan.”

Para pembaca yang budiman, cerita tadi menggambarkan dua paradigma mengenai kekuasaan. Paradigma pertama saya sebut sebagai Paradigma Madu dan Racun (istilah ini saya ambil dari lagu Ari Wibowo di era 1980-an). Dalam paradigma ini, kekuasaan diidentikkan dengan kemampuan memaksa orang lain agar mereka mau melakukan apa yang kita inginkan. ”Madu” kita berikan pada mereka yang menaati perintah kita, sedangkan mereka yang membangkang akan mendapatkan ”racun” sebagai balasannya. Kekuasaan seperti ini hanya akan menimbulkan ketakutan dan penghormatan semu.

Paradigma kedua saya sebut sebagai Paradigma Air dan Pupuk. Ini adalah paradigma Jack Welch yang ketika memimpin GE mengibaratkan dirinya sebagai orang yang selalu membawa air di tangan kanan dan pupuk di tangan kiri. Bagi Welch, tugas pemimpin adalah menciptakan dan menumbuhkan potensi yang sebenarnya sudah ada dalam diri setiap orang.

Pemimpin yang menggunakan pendekatan Madu dan Racun melihat orang lain semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Hubungan yang tercipta antara pemimpin dan anak buahnya adalah ”I-Something”.

Para pemimpin yang seperti ini hanya peduli pada pencapaian target. Ia tidak berusaha menumbuhkan potensi orang lain. Yang menarik, pemimpin seperti ini juga tidak menumbuhkan potensi dirinya sendiri. Mengapa? Karena, ia memiliki ketergantungan yang tinggi pada kekuasaan. Ketergantungan ini membuatnya lupa mengembangkan diri. Ia tidak belajar cara melakukan persuasi, tidak belajar memahami orang lain, tidak peduli pada kepemimpinan. Toh, semua yang dibutuhkan pasti akan didapatkannya karena semua orang ”menghormati”-nya.

Pemimpin seperti ini lupa bahwa kekuasaan itu tidak akan ia genggam selamanya. Suatu ketika semua itu akan berlalu. Dan begitu kehilangan kekuasaan, ia akan merasa hampa dan kehilangan segala-galanya. Tak ada lagi orang yang menghargainya. Ia pun menjadi manusia yang tak bernilai apa-apa.

Pemimpin dengan Paradigma Air dan Pupuk sadar bahwa manusia memiliki potensi yang tak terbatas. Pemimpin seperti ini sadar bahwa tugas utama seorang pemimpin hanyalah menciptakan lingkungan yang kondusif yang akan membuat semua orang merasa nyaman, bebas dari rasa takut sehingga dapat mengeluarkan seluruh potensinya. Ia berusaha menghilangkan rasa takut di tempat kerja dengan menciptakan pola hubungan ”I-You” dengan bawahan.

Hal ini amatlah penting karena sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa lebih dari 70% manajer dan karyawan merasa takut berbicara di tempat kerja karena masalah emosi sederhana: betul-betul merasa takut, merasa malu, takut dicemooh, takut ditertawakan, khawatir akan dicopot dari jabatan, atau takut kehilangan pekerjaan (Ryan, 1999).

Bagaimana dengan hukuman dan sanksi? Pemimpin dengan paradigma ini yakin bahwa setiap manusia pasti akan mencari yang terbaik untuk dirinya. Tak mungkin ada orang yang menghendaki keburukan dan kesulitan untuk dirinya sendiri. Karena itu, segala kesalahan yang dilakukan oleh siapa pun pasti terjadi karena ketidaktahuan. Pemimpin seperti ini sadar bahwa tugas utamanya adalah menyadarkan, menyembuhkan, dan menyehatkan orang lain.

Benar, bahwa dalam rangka menyembuhkan, dibutuhkan obat yang pahit, suntikan yang menyentak, bahkan operasi yang menyakitkan. Namun, tujuan semua itu adalah untuk menyembuhkan. Maka, para pemimpin besar senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting ini sebagai kualitas kontrolnya: Apakah aku ingin mengkritik dan menunjukkan kesalahan mereka? Apakah aku ingin orang ini menderita? Apakah aku ingin membalas kesalahan yang mereka lakukan?

Selama jawaban dari salah satu pertanyaan di atas adalah ”Ya”, pemimpin ini tidaklah akan mengambil tindakan penyembuhan apa pun. Mereka sadar sepenuhnya bahwa jawaban ”Ya” untuk salah satu pertanyaan di atas menunjukkan bahwa mereka masih menyisakan ego pribadi mereka. Dengan demikian, mereka masih bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Dan ketika mereka mementingkan diri sendiri, sebenarnya mereka sedang merusak, bukan menyembuhkan.

Esensi kepemimpinan adalah menumbuhkan dan membangun. Persoalannya, bagaimana agar kita tak tergoda memanfaatkan kekuasaan kita untuk menghancurkan dan menghukum, yang jauh lebih mudah dan jauh lebih cepat? Saya kira kuncinya ada pada satu kata: cinta. Karena itu, ketika menghadapi masalah, berpalinglah pada cinta. Semua jawaban akan kita dapatkan di sana.