Senin, 24 November 2008

Obamanomics

Dunia menyambut kemenangan Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat (AS) yang baru dengan harapan besar. Obama dan tim ekonominya diharapkan mampu membawa AS segera keluar dari krisis ekonomi terparah sejak Depresi Besar 1929.

Bila ekonomi AS pulih, ekonomi dunia hampir dipastikan akan kembali stabil dan gelombang transmisi krisis ke berbagai negara lain dapat lebih dibatasi sekaligus diatasi. Tentu terlalu dini bagi kita untuk menilai kebijakan ekonomi yang akan diambil Obama. Yang kita catat selama ini hanya sejumlah keinginan atau janji yang dilontarkan pada masa kampanye, dan dukungan yang diberikan kepada paket penyelamatan yang diusulkan Presiden Bush.

Obama bahkan mendesak Presiden Bush untuk segera merealisasikan komitmen dana yang tersedia dalam paket penyelamatan tersebut, besarnya sekitar USD700 miliar, sebelum kondisi semakin buruk.
Semasa kampanye, Obama menjanjikan akan memberikan potongan pajak untuk kelompok berpenghasilan rendah. Ini merupakan menu kebijakan yang hampir selalu diusung presiden yang datang dari Partai Demokrat. Obama juga akan membatasi, bahkan bila perlu menarik kembali, berbagai praktik dan kontrak outsourcing yang dilakukan banyak perusahaan AS dengan mitra-mitra kerjanya dari negara berkembang yang memiliki tingkat upah lebih rendah.
Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi tingkat pengangguran di AS yang sekarang sudah mencapai angka 6,5 persen, angka tertinggi dalam dua dekade terakhir. Seperti yang sering disampaikan, Obama tampaknya akan mengatur lebih ketat pasar keuangan AS. Krisis kali ini oleh kubu Demokrat memang dipahami sebagai buah dari kombinasi antara keserakahan dan regulasi yang tidak memadai.
Berkali-kali Obama menyindir, tidak boleh terjadi "Wall Street" (sektor keuangan) melaju dengan mengorbankan "Main Street" (sektor riil). Bagaimana mungkin sebuah negara mengandalkan pada bekerjanya mekanisme pasar yang terlalu banyak digerakkan kekuatan spekulasi? Kita memang mencatat, dalam satu tahun terakhir ini kapitalisasi pasar di Bursa New York telah menguap sekitar USD8,3 triliun, bahkan USD2,3 triliun di antaranya terjadi dalam satu pekan (6-10 Oktober 2008).
Kepada sejumlah negara yang mencatat surplus perdagangan besar terhadap AS, Obama hampir dipastikan akan memberi tekanan lebih kuat agar mereka membuka lebar pasar domestiknya bagi impor produk AS. Bila Partai Republik dikenal rajin mendengungkan perdagangan bebas (free trade), Partai Demokrat biasanya fasih melafalkan perdagangan yang seimbang atau adil (fair trade).
Bukan tidak mungkin dalam jangka pendek Kabinet Obama melahirkan kebijakan ekonomi bernuansa proteksionistis. Yang menarik, Laura Tyson, mantan Kepala Penasihat Ekonomi Presiden Clinton, disebut-sebut akan menduduki posisi kunci dalam kabinet. Penulis buku Who's Bashing Whom (Siapa Mengalahkan Siapa, 1992) ini dikenal memiliki pandangan yang keras dalam perdagangan internasional. Persaingan antarnegara dipandang seperti persaingan antarperusahaan, sehingga begitu terobsesi dengan gagasan daya saing negara.
Sang bos saat itu, Presiden Clinton, bahkan sempat dikutip mengatakan bahwa sebuah bangsa "is like a big corporation competing in the global market place." Pandangan yang sepintas tepat tetapi berbahaya tersebut berusaha dikoreksi oleh Paul Krugman (1994), ekonom pemenang Nobel Ekonomi 2008.
Menyamakan persaingan antarnegara dengan persaingan antara Coba-Cola dan Pepsi adalah pandangan yang menyesatkan. Perdagangan internasional bukan permainan menang kalah habis-habisan (zero-sum game). Konsep rivalitas murni seperti yang biasa digunakan dalam menganalisis perebutan pangsa pasar antar perusahaan akan menyesatkan bila digunakan dalam konteks perdagangan antar bangsa.
Krugman sungguh jeli menerapkan prinsi-pprinsip keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dikemukakan David Ricardo (1817) dalam konteks perdagangan masa kini. Dalam naskah yang dianggap menentang arus pembicaraan hangat soal daya saing bangsa, Krugman menulis, "Countries are nothing at all like corporations. Even today,US exports are only 10% of the value added in the economy. That is, US economy is still almost 90% an economy that produces goods and services for its own use. By contrast, even the largest corporation sells hardly any of its output to its own workers." (1994).
Krugman juga mengkritik Lester Thurow, penulis Head to Head: The Coming Battle Among Japan, Europe and America (1992), yang disampulnya mencantumkan kalimat yang sangat provokatif, "Decisive war of the century has begun". Bila hubungan antarnegara dipandang seperti perang, maka perdagangan internasional akan sarat dengan konflik.
Bagi Krugman, standar kesejahteraan masyarakat lebih ditentukan oleh peningkatan produktivitas domestik, bukan produktivitas dalam perbandingan dengan kompetitor di negara lain. Dia menulis, "Even though world trade is larger than ever before, national living standards are overwhelmingly determined by domestic factors rather than by some competition for world markets."
Dapat kita duga, bila Kabinet Obama diisi oleh tokoh-tokoh yang obsesinya berlebihan terhadap daya saing negara, yang percaya kesempatan kerja dapat diciptakan dengan membatasi impor, perang dagang akan lebih sering terjadi di pentas ekonomi dunia.Kondisi ini tentu saja kurang kondusif untuk melahirkan kesepakatan bersama dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dunia. Obamanomics tentu tidak sesederhana yang digambarkan di sini.
Tetapi yang jelas, Obamanomics berbeda dari Reaganomics yang beranggapan bahwa penurunan agregat daya beli masyarakat tak akan mengakibatkan terjadinya resesi. Bertarung melawan resesi adalah ujian mendesak bagi Obamanomics.(*)

Prof Hendrawan Supratikno PH.D
Guru Besar FE UKSW, Salatiga;
Alumnus Tinbergen Institute, Belanda.