Rabu, 26 November 2008

Anakku Kena Jotos

Dari sekian drama dalam ephos Mahabarata, bagian yang sangat saya suka adalah hubungan antara tokoh Karna dan Arjuna, dua kesatria yang sama-sama tampan, sakti, jagoan, mulia hati, tetapi harus bermusuhan hingga salah seorang di antara mereka ada yang mati. Bukan kematian yang mudah kita setujui, karena sesungguhnya keduanya adalah saudara, kakak beradik, satu ibu, beda bapak. Dua saudara yang harus saling mematikan cuma karena sebuah alasan.

Alasan itu di tangan seorang dalang maestro seperti Ki Narto Sabdo misalnya, akan segara akan menjadi drama yang mencekam. Saya menyimpan kaset dalang ini di dalam mobil sebagai kelengkapan. Ia saya jadikan teman setiap kali melakukan perjalanan. Begitu sering saya menyetelnya, tetapi selalu teraduk perasaan saya ketika bagian pertemuan antara Karna dan Arjuna itu tiba.

Jika ada dua perbedaan di antara dua saudara ini ialah watak Karna yang lebih pemberang. Ketika bertemu adiknya untuk pertama kali, ia cemburu setengah mati karena reputasi Arjuna sebagai jagoan. Sang jagoan itu dilabraknya, dihajarnya habis-habisan tanpa si adik itu mau membalas, karena ia malah jatuh sayang pada musuh yang ternyata memang kakaknya sendiri itu. Dari awal, hubungan kaka beradik ini memang sudah penuh dilema. Dan Ki Narto Sabdo berhasil menghadirkan dilema itu seperti di depan mata. Sosok Arjuna, yang meskipun sakti mandraguna, pada dasarnya adalah anak yang berfisik kecil kurus, lembut hati dan selalu pilih mengalah. Membayangkan si kurus itu dihajar habis-habisan tanpa melawan entah mengapa suka menerbitkan air mata saya.

Saya tidak menyangka, jika bagian paling saya sukai itulah yang belum lama ini terjadi pada anak lelaki saya. Ia masih kelas tiga SD, dan kebetulan kecil dan kurus serta pendiam pembawaannya. Ia biasa menyelesaikan persoalan cuma dengan kata, bukan dengan kekuatan fisiknya. Jika tak setuju, ia cukup diam saja. Jika ia kecewa, tahu-tahu cuma matanya yang berkaca-kaca. Maka setiap kali mengantarnya ke sekolah, saya melepas dengan rasa cemas membayangkan betapa akan lemah ia di hadapan kenakalan teman-temannya.

Hingga suatu hari bayangan buruk itu malah terjadi. Anak saya dilaporkan kena jotos. Saya langsung gemetaran dan segera menghentikan seluruh pekerjaan saya. Apalagi saya tahu, di kelasnya memang ada anak yang selama ini dikenal nakal, bongsor tubuhnya, dilatih bertinju pula oleh bapaknya. Jotosan petinju itulah yang kabarnya singgah di tubuh anak saya. Waktu kabar itu saya dengar, air mata saya meleleh tak terasa. Bayangan wajah anak saya yang lemah dan kalah menghajar imajinasi saya. Apa saja rasanya ingin saya lakukan agar bisa segera melindungi anak saya. Ingin rasanya saya terbang secepat kilat menemuinya, untuk segera melindunginya sekuat yang saya bisa. Padahal setelah ketemu saya kaget dengan imajinasi saya sendiri karena ternyata ia jauh lebih dramatik katimbang kenyataannya. Karena ketika saya sedang gemetaran sedemikian rupa, anak itu sudah berlari dan tertawa-tawa seperti galipnya anak-anak. Pemukulan itu tak lebih dari sebuah insiden khas anak-anak dan merupakan bagian dunia permainan mereka belaka. Sementara saya bereringat dingin oleh pikiran buruk, anak saya sudah kembali bergembira menatap dunia.

Hati-hati dengan imajinasi. Jika ia kelebihan porsi, dunia yang sesungguhnya terang benderang ini bisa kita bayangkan sebagai sedang gelap gulita!

Oleh : Prie GS - Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA