Kamis, 02 Juli 2009

Ini Masalah Kepercayaan, Bukan Komunikasi!

Setelah merayakan pesta pernikahan emasnya, sepasang suami-istri duduk-duduk di serambi rumah sembari melepas lelah. Sambil menikmati matahari terbenam, bapak tua itu memandang istrinya dengan mesra dan berkata, “Endah, saya sungguh bangga pada dirimu!”
“Apa yang kau katakan?” tanya istrinya. “Engkau tahu pendengaranku sudah tidak baik. Coba lebih keras lagi.”

“Tadi saya katakan, saya sungguh bangga pada dirimu.”

“Baik,” jawab istrinya dengan sikap acuh tak acuh. “Saya juga sudah bosan terhadapmu.”

Pembaca yang budiman, masalah apakah yang terjadi di antara suami-istri ini, masalah komunikasi atau masalah kepercayaan? Walaupun kelihatannya masalah komunikasi, sesungguhnya ini adalah soal kepercayaan. Bila si istri percaya, bukankah ketika tak dapat mendengar perkataan suaminya ia dapat berasumsi bahwa si suami sedang memujinya? Mengapa ia langsung berpikiran bahwa suaminya sedang mengeluarkan kata-kata negatif?

Hal yang sama juga terjadi dalam keseharian kita. Banyak orang yang mengatakan bahwa masalah yang mereka hadapi dalam hubungan antarmanusia adalah masalah komunikasi, bukan kepercayaan. Ini karena masalah komunikasi dipersepsikan lebih ringan, sementara masalah kepercayaan terlihat jauh lebih berat. Lagi pula, tegakah kita mengatakan bahwa masalah yang kita alami dengan atasan, bawahan dan rekan kerja kita adalah soal kepercayaan? Sampai hatikah kita mengatakan bahwa masalah yang kita alami dengan pasangan, anak, orang tua dan saudara kita adalah masalah kepercayaan? Bukankah dengan mengatakan demikian kita seakan-akan sedang menghujat mereka, sedang mengatakan bahwa mereka memang tak layak dipercaya? Bukankah dengan demikian kita seolah-olah menusuk mereka dari belakang, dan terlihat sebagai orang yang kejam dan tak berbelas kasih?

Ketakutan-ketakutan inilah yang sering membuat orang mengatakan bahwa masalah yang ia hadapi adalah masalah komunikasi. Padahal kalau mau jujur, kita perlu mengakui bahwa sebagian besar masalah yang kita hadapi dalam hubungan kita dengan orang lain bukanlah masalah komunikasi, melainkan masalah kepercayaan.

Sebelum berbicara lebih jauh, saya ingin menjelaskan bahwa ketika saya mengatakan masalah kepercayaan, jangan Anda langsung membayangkan hal-hal yang sangat buruk. Dengan mendefinisikan masalah sebagai masalah kepercayaan bukan berarti mengatakan bahwa kita curiga orang tersebut akan membunuh, meracuni, mencelakakan, atau menipu kita. Sama sekali tidak. Bukankah dalam hidup hanya sesekali kita menjumpai orang-orang jahat seperti ini? Bahkan, bukankah kita tak akan pernah mau berhubungan dengan orang-orang mencurigakan tersebut?

Hal yang menarik mengenai kepercayaan adalah bahwa kepercayaan lebih sering melibatkan masalah yang relatif kecil. Ketidakpercayaan kita pada seseorang bukanlah karena orang itu akan melakukan kejahatan kepada kita. Kita tak percaya apakah atasan akan benar-benar mendengarkan ide kita, bukannya mengabaikan atau menghakimi kita. Kita tak percaya bahwa perusahaan akan memperlakukan setiap orang dengan adil. Kita tak percaya bahwa perbedaan pandangan akan disikapi secara positif. Kita juga tak percaya bahwa usulan kita akan didengarkan dan dihargai orang lain.

Kita tak percaya bahwa kalau kita berterus terang, pasangan mau memahami kita; jangan-jangan ia malah menuduh kita yang bukan-bukan. Kita tak percaya bahwa orang memberikan sesuatu yang benar-benar tulus. Kita tak percaya bahwa rekan kita tidak membicarakan keburukan kita kepada orang lain. Kita tak percaya bahwa orang itu akan memperlakukan kita dengan ramah. Inilah hal yang menarik: kepercayaan sering didasarkan pada hal-hal sederhana. Bahkan, tidak menjawab pesan pendek pun dapat mengurangi kepercayaan orang pada kita.

Jadi, ketika ada prasangka, kecurigaan, tanda tanya dan keraguan sekecil apa pun, kita harus mendefinisikannya sebagai masalah kepercayaan, bukan komunikasi. Begitu juga ketika spontanitas menghilang dari hubungan antarmanusia. Ini juga soal kepercayaan. Kesalahan mendefinisikan dengan mengatakan ini masalah komunikasi akan menjauhkan kita dari penyelesaian masalah.

Namun, ketika membicarakan solusi, Anda akan menemukan sesuatu yang sangat menarik. Ternyata, kurangnya kepercayaan orang pada kita bukanlah semata-mata disebabkan perilaku kita pada orang tersebut, melainkan lebih banyak disebabkan karena ketidakbaikan kita pada orang lain.

Ketika bergosip, kita tengah mengurangi kepercayaan kawan gosip kita. Ketika menjelek-jelekkan perusahaan, kita sesungguhnya sedang mengikis rasa saling percaya dengan teman kita. Ketika berbohong kepada pasangan agar bisa pergi dengan teman sekantor, kita sedang mengurangi kepercayaan teman sekantor. Ketika memarahi bawahan, kita tengah menggerus kepercayaan mereka yang menyaksikannya. Jadi, di sinilah letak kesulitannya, ketika Anda melakukan ketidakbaikan pada seseorang, Anda telah mengurangi tingkat kepercayaan orang lain yang sama sekali tidak terlibat dalam masalahnya.

Tergerusnya kepercayaan lebih sering diakibatkan oleh ketidakkonsistenan. Tahukah Anda bahwa orang menilai kita bukan dari kebaikan kita, melainkan dari konsistensi kita? Bukankah kebaikan kita kepada seseorang akan langsung hilang nilainya di mata orang itu ketika kita melakukan ketidakbaikan kepada orang lain? Kebaikan yang tidak konsisten akan senantiasa dilihat sebagai tidak tulus, pilih kasih dan tidak otentik. Kebaikan tersebut akan ditafsirkan sebagai upaya meraih keuntungan yang lebih besar.

Solusi masalah ini sebenarnya sederhana saja. Kita perlu menjadi orang yang sama di mana pun kita berada. Kita juga perlu menjaga agar apa yang kita pikirkan sama dengan apa yang kita katakan dan kita lakukan.


Oleh : Arvan Pradiansyah
Penulis Buku The 7 Laws of Happiness