Rabu, 15 Juli 2009

Kamu, You, atau Anda?

“Kamu bisa presentasikan program kamu itu sekarang?” tanya seorang petinggi sebuah perusahaan terkemuka kepada saya. Saya terperangah. Kata “kamu” yang dia ucapkan tiba-tiba saja membuat saya merasa tidak nyaman. Namun situasi saat itu menggiring saya untuk tidak berkata apa-apa selain menuruti perintahnya. Sang petinggi pun mendengarkan tanpa menatap wajah saya. Sesekali ia memotong dengan sapaan “kamu”. Pertemuan berlangsung sekitar 30 menit dan sampai di akhir pertemuan saya tidak yakin apakah dia sempat melihat wajah saya.
Untungnya pengorbanan saya tidak sia-sia. Perusahaan saya memperoleh proyek dengan nilai cukup besar, padahal pesaing kami adalah perusahaan-perusahaan yang cukup ternama. Pertemuan saya dengan si petinggi perusahaan – yang usianya kurang-lebih sama dengan saya itu – rupanya menjadi pertemuan terakhir yang menentukan siapa vendor yang memenangi tender.

Dalam kesempatan yang lain saya bertemu dengan presiden direktur sebuah perusahaan terkemuka lainnya. Tujuan pertemuan untuk mempresentasikan proposal yang sudah kami buat berdasarkan pertemuan sebelumnya dengan para manajer perusahaan itu. Sejak pertama kali bertemu dan berjabat tangan, saya sudah menangkap kesan yang tidak biasa dari si presdir: ia tak mau menatap mata saya. Begitu pula ketika saya melemparkan beberapa kalimat ice breaker, ia menjawab tanpa mengarahkan pandangannya ke wajah saya. Namun yang lebih membuat saya tidak nyaman adalah caranya menyapa saya.

“You sudah pengalaman di perusahaan mana saja?” tanya sang presdir. “Coba you jelaskan proyek-proyek yang sudah you tangani selama ini,” katanya lagi. Dan ketika saya menjelaskan berbagai proyek yang pernah saya lakukan dengan beberapa klien yang lain, ia menunjukkan wajah yang dingin dan tanpa ekspresi seakan-akan kata-kata saya hanya berlalu seperti angin.

Presentasi saya baru berjalan sekitar 10 menit ketika si presdir – yang usianya kurang-lebih sama dengan saya itu – tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. “Saya mau ke toilet dulu,” katanya sambil melihat ke arah pintu. Peserta lain yang masih antusias mendengarkan saya meminta saya tidak berhenti dan melanjutkan presentasi. Namun tak lama kemudian si presdir muncul di depan pintu sambil berkata, “Silakan kalian lanjutkan ya, saya ada acara lain.” Lalu ia pun pergi begitu saja tanpa menoleh apalagi mengatakan sepatah kata pun kepada saya yang saat itu hanya berdiri beberapa meter di belakangnya.

Para pembaca yang budiman, kalau Anda yang berada di posisi saya, apa yang Anda rasakan dari kedua situasi tersebut? Saya yakin Anda pun pasti merasa tidak nyaman. Bukankah dalam bisnis “kamu” dan “you” adalah sapaan yang tidak profesional? Sapaan “you” yang saya maksud adalah bila diucapkan dalam kalimat bahasa Indonesia dan bukannya dalam kalimat utuh bahasa Inggris seperti “What do you think?” Dan bukankah sapaan yang paling profesional dalam bisnis adalah “Anda”, selain tentu saja “Bapak” atau “Ibu”.

Dalam beberapa kasus saya masih sering menjumpai para eksekutif yang terpelajar dan berpangkat tinggi menganggap ringan hal-hal semacam itu. Saya tidak tahu apakah itu memang kebiasaan mereka, tapi saya berhipotesis bahwa ini bukan hanya berkaitan dengan cara mereka berinteraksi, melainkan lebih pada bagaimana cara mereka memandang orang lain.

Orang yang suka “mengkamukan” orang lain sesungguhnya adalah orang yang tidak menghargai orang lain. Orang seperti ini merasa superior dan ingin menunjukkan kekuasaannya. Mereka ingin dilihat penting, besar dan bermartabat. Namun jauh di lubuk hati yang terdalam mereka memiliki perasaan tidak aman. Mereka pada hakikatnya tidak terlalu percaya pada diri sendiri. Karena itu mereka mengecilkan orang lain supaya mereka terlihat besar, dan membuat orang merasa tidak penting supaya mereka terlihat penting.

Mereka lupa bahwa orang penting senantiasa mementingkan orang lain, dan orang besar senantiasa membesarkan orang lain. Mereka tidak sadar bahwa sapaan mereka kepada orang lain sesungguhnya mencerminkan bagaimana mereka menghargai diri mereka sendiri.

Bahkan kepada para mahasiswa saya sendiri, saya selalu memanggil mereka dengan sebutan “Anda” karena mereka sudah dewasa. Anehnya, seorang dosen terkenal yang sering muncul di media massa tatkala suatu ketika bertemu dengan saya untuk pertama kalinya di kampus, langsung “mengkamukan” saya hanya beberapa saat setelah kami berkenalan. Padahal kami sama-sama berstatus pengajar di kampus itu.

Menyebut “kamu” pada orang yang baru kita kenal apalagi dalam bisnis sesungguhnya menunjukkan ketidakpatutan sekaligus ketidaksensitifan kita. Bukankah orang Prancis selalu menyebutkan kata “Vous” dan bukan “Tu”, sementara orang Jerman menyebut “Sie” dan bukan “Du” untuk orang yang tidak memiliki hubungan yang akrab dengan mereka? Dan bukankah dalam bisnis, seakrab-akrabnya kita dengan rekan bisnis, hubungan yang harus kita jalani adalah hubungan yang penuh dengan etika dan tata krama? Karena itu kata “kamu” bukanlah ciri orang bisnis dan karenanya perlu kita hindari.

Bahkan saya pernah hampir menolak tawaran pekerjaan yang sebetulnya sangat saya minati semata-mata karena orang yang mewawancarai saya – yang notabene adalah pemilik perusahaan – menyapa saya dengan “kamu” satu menit setelah kami berkenalan.

“Kamu” hanya tepat bila dikemukakan kepada kawan yang akrab, kolega di satu kantor ataupun anak-anak yang belum dewasa. Justru kalau kita menyebut mereka dengan “Anda” akan terdengar aneh dan berjarak. Saya yakin Anda sependapat dengan saya.


Oleh : Arvan Pradiansyah