Sabtu, 20 Agustus 2011

Semangat dan Kesetiakawanan

Saya tak kuasa menahan air mata. Di depan murid-murid kelas enam SD itu saya menangis. Sementara Yuni terus membacakan puisi karyanya dengan suara serak. Air mata mulai menetes membasahi pipinya.

Siang itu saya berada di ruang kelas enam SD Negeri Karaton 4 Pandeglang Banten. Saya bersama tim Kick Andy HOPE sedang meliput kisah tentang seorang anak yang mengalami kelumpuhan tetapi memiliki semangat yang menyala-nyala. Namanya Yuni. Usianya 13 tahun.

Kisah tentang Yuni segera menarik perhatian saya dan teman-teman di Kick Andy karena dalam usianya yang relatif sangat muda, anak Desa Pabuaran, Kecamatan Majasari, ini sudah harus menghadapi ujian hidup yang cukup berat. Pada saat duduk di kelas empat SD, bagian bawah badannya mendadak lumpuh. Kakinya tidak bisa lagi menumpu tubuhnya. Sejak saat itu kehidupan Yuni berubah drastis.

Yuni yang tadinya lincah sekarang tidak bisa lagi berjalan kaki ke sekolah. Tongkat penyangga tidak juga membantu. Tetapi semangat juara pertama lomba MIPA se-Pandeglang ini tidak padam hanya karena keterbatasan fisik. Setiap hari dengan dibopong dia tetap ke sekolah. Ada dua teman yang setia membantu menggendong Yuni di punggung mereka secara bergantian. Melayanti dan Dina, dua sahabat Yuni sejak kelas satu SD, dengan setia menggendong Yuni saat pergi dan pulang sekolah.

Apa yang dilakukan Mela dan Dina merupakan wujud kesetiakawanan yang sulit dilukiskan. Apalagi secara fisik Mela dan Dina lebih ringkih dari Yuni. Tak terbayangkan kedua gadis cilik itu harus menggendong Yuni pergi dan pulang sekolah. Begitu pula pada saat Yuni ingin ke kamar mandi. Mela dan Dina dengan sabar dan setia selalu membantu. Kesetiakawanan itu sudah teruji selama dua tahun tanpa henti.

Air mata saya sudah mulai jatuh ketika mendengarkan Yuni menyanyikan lagu Senyum dan Semangat yang biasanya dinyanyikan kelompok musik remaja Sm*sh. Lagu itu bercerita tentang penderitaan seorang yang dihina dan dilecehkan oleh teman-temannya. Tetapi dia bangkit dari rasa sedih dan kecewa karena ada seseorang yang menghargainya.

Mengapa Yuni menyanyikan lagu itu? “Karena lagu itu menggambarkan apa yang terjadi pada Yuni,” ujar Yuni dengan suara parau. Air matanya kembali bergulir di pipinya. “Yuni sering dihina dan dijadikan bahan tertawaan oleh teman-teman kelas tiga,” ujarnya.

Yuni yang sehari-hari digendong oleh Mela dan Dina memang menjadi pemandangan biasa bagi teman-teman sekelasnya. Bahkan selama belajar teman-teman sekelasnya sudah bisa menerima kondisi Yuni itu dan tidak mempersoalkannya. Bahkan hampir semua teman-teman sekelas mendukung Yuni. Hal itu terlihat jika waktu istirahat, mereka secara bergantian membelikan jajan dan memberikannya ke Yuni yang terpaksa hanya bisa menunggu di kelas.

Tetapi, bagi teman-teman sekolahnya yang berbeda kelas, kehadiran Yuni yang selalu digendong di punggung itu menjadi tontonan menarik. Maka adegan Yuni digendong itu menjadi bahan olok-olok dan ejekan mereka. Yuni pernah merasa tidak tahan dan mogok sekolah. Tapi dukungan dan dorongan semangat teman-teman sekelasnya membuat Yuni kembali bersekolah. Bukan cuma itu, dia bahkan menunjukkan prestasi dengan dua kali menjuarai kompetisi MIPA se-Banten.

Air mata saya semakin tak terbendung manakala Yuni membacakan puisi ciptaannya yang bercerita tentang jasa gurunya selama dia belajar. Di dalam puisi itu Yuni, yang baru saja lulus ujian SD, menyatakan penghargaan dan rasa terima kasih kepada guru-gurunya.

Bukan saya saja yang tak mampu membendung air mata. Tim Kick Andy yang ikut meliput juga tak kuasa menahan haru. Tak terkecuali para guru dan teman-teman sekelas Yuni yang hadir. Semua tenggelam dalam air mata.

Hari ini saya belajar tentang semangat dan kesetiakawanan. Semangat Yuni untuk melawan keterbatasan dan kesetiakawanan Mela dan Dina terhadap temannya yang sudah mereka kenal sejak di bangku kelas satu SD.

Saya semakin bisa merasakan kekuatan cinta dan persahabatan mereka manakala saya mencoba menggendong Yuni pulang ke rumahnya. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh, saya merasa cukup kelelahan. Tubuh Yuni terasa berat di punggung saya. Sulit bagi membayangkan bagaimana Mela dan Dina, yang tubuhnya kecil dan ringkih, setiap hari dengan setia menggendong sang sahabat pergi dan pulang sekolah.

Adakah persahabatan sejati membuat berat badan Yuni tidak berarti bagi Mela dan Dina? Adakah cinta yang tulus membuat Mela dan Dina mau mengorbankan tenaga dan waktunya untuk Yuni? Sederet pertanyaan itu terus mengganggu pikiran saya selama perjalanan pulang ke Jakarta. Logika saya tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Hari itu saya belajar satu hal lagi dari Yuni, Mela, dan Dina. Bahwa cinta dan persahabatan yang tulus akan mampu mengatasi beban dan hambatan sebesar apa pun.


Kick Andy