Senin, 01 Agustus 2011

Lirikan Mata Korporasi Global

Bagaimanakah seharusnya kita memandang realitas bahwa Indonesia kini menjadi incaran kor­porasi global?

Indonesia konon kian seksi di mata dunia. Berita-berita seputar korporasi global yang melirik Indonesia semakin sering diekspose. Sejumlah perusahaan global disebutkan berniat menanamkan modal di Indonesia. Menurut kalangan pemerintah dan sejumlah pengamat, lirikan itu merupakan konsekuensi logis dari meningkatnya daya beli masyarakat Indonesia, komposisi penduduk yang sebagian besar usia produktif, dan kondisi makroekonomi yang baik. Media cetak pun membeberkan nama-nama sejumlah ­korporasi global yang sudah mengubah lirikan menjadi rencana untuk menanam modal di Indonesia. Disebutlah dua raksasa Korea, yakni Hankook dan Pohang Steel Corporation (Posco). Dari Jepang ada Mitsubishi. Perusahaan ini bahkan sudah hadir dalam proyek LNG Donggi-Senoro di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Microsoft dan Google juga disebut-sebut.

Kekayaan alam yang melimpah, upah buruh yang relatif rendah, sumber daya manusia yang besar, adalah beberapa keunggulan yang seringkali dipandang investor asing mampu dikompensasi menjadi keuntungan ekonomi. Inilah sejumlah keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia. Apakah keunggulan itu dengan sendirinya dapat meningkatkan indeks daya saing Indonesia tentu adalah soal lain. Apakah keunggulan itu dapat memberikan tetesan ekonomi yang tidak terputus kepada rakyat Indonesia juga adalah soal lain. Sebab, yang terakhir ini sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah. Kadangkala sebuah negara siap menerima kedatangan investor, tetapi tidak siap mengonversi kehadiran mereka menjadi kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Otoritas Indonesia berulang kali mengakui bahwa kondisi infrastruktur dan regulasi yang masih tumpang tindih merupakan persoalan besar yang menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Kondisi ini kembali dikeluhkan pengusaha di dalam ne­geri. Belakangan bahkan sedang dikaji sejumlah undang-undang yang ditengarai menghambat program MP3EI. Tetapi persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya jauh lebih kompleks. Salah satu yang cukup menggemparkan adalah ditemukannya puluhan perusahaan migas yang mengemplang pajak triliunan rupiah. Dari jumlah itu, 14 perusahaan migas asing diduga terlibat, yang menimbulkan kerugian negara sekitar Rp1,6 triliun. Realitas ini lalu melahirkan pandangan sinis terhadap korporasi global. Wacana yang dihembuskan masyarakat sipil mencoba meyakinkan publik bahwa negara yang terlalu berpihak kepada korporasi global pada akhirnya menempatkan rakyat sebagai obyek saja. Belum lama ini, sekitar 100 tokoh nasional mendorong dan mengajak masyarakat untuk mandiri, kreatif, dan inovatif. Masyarakat diimbau agar tidak terlalu menuntut kepada negara yang dinilai selalu berpihak dan menguntungkan pihak asing. Imbauan ini tentu beralasan, rasional bahkan faktual. Keberpihakan negara kepada korporasi global sudah menjadi buah bibir di dunia internasional. Korporasi global bahkan dituduh menciptakan pulau kemakmuran yang dihuni sedikit orang dan lautan kemiskinan di mana begitu banyak orang terapung-apung di dalamnya.

Meski demikian, menolak masuknya korporasi global bukanlah keputusan yang baik bagi Indonesia saat ini. Tetapi sikap ini tentu ada syaratnya. ­Pertama, banyaknya korporasi global yang melirik Indonesia mesti dimanfaatkan dengan mentransformasikan lirikan itu menjadi investasi riil di sektor-sektor yang sangat dibutuhkan saat ini. Menurut Faisal Basri, capital inflow ke Indonesia pada tahun 2011 ini bisa mencapai USD25 miliar. Tetapi investasi itu sen­diri bukan tujuan akhir. Yang tidak kalah pentingnya bahkan lebih penting adalah di sektor apa investasi itu ditanamkan. Sejumlah kalangan berpendapat agar investasi itu didorong ke sektor industri manufaktur karena dapat menyerap banyak tenaga kerja. Selain industri manufaktur, pembangunan infrastruktur dasar juga dirasakan semakin penting untuk menggerakkan perekonomian.

Kedua, otoritas negara harus diperkuat ­dengan mengambil titik tolak pada UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3). Hanya dengan begitu, raihan laba korporasi global dapat berjalan paralel dengan peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.


BusinessNews