Senin, 08 Agustus 2011

Sendok di Secangkir Kopi Pagi

Di sebuah siang, aku menunggu lama di sebuah Bank. Di luar cukup terik, bisa memaksa pori-pori untuk mengelopakkan keringat. Letaknya tak begitu jauh dari rumah. Kupikir, sebagian besar nasabahnya juga merupakan penduduk sekitar. Terlihat dari tegur sapa yang seringkali terjadi di antara mereka. Sedangkan aku, hanya duduk diam memperhatikan, tak ada yang kukenal. Beberapa kali aku sempat saling melempar senyum dengan beberapa orang. Mungkin ini salah satu bentuk ketulusan yang kini sangat jarang ditemukan. Betapa tidak, kau tersenyum pada seseorang, ia pun membalasnya, sementara kita tak pernah mengenal dan tak saling membutuhkan satu sama lain. Namun kita saling senyum. Tanpa apa-apa, hanya tersenyum. Sulit sekali ya, membaca arti tulus itu. Namun kali ini aku tidak akan membahasnya lebih jauh, sebab tulus atau tidak, mungkin hanya hati kita dan Tuhan sajalah yang tahu. Biarkan itu menjadi sesuatu yang bahkan sampai ujung kehidupan pun menerjemahkan dirinya sebagai rahasia.

Tiap orang di ruangan itu memainkan aktivitasnya masing-masing. Ada yang bercakap-cakap, memainkan telepon genggam, melipat-lipat kertas, bengong, diam sambil melihat-lihat sekeliling, dan beragam lainnya. Mereka mungkin sibuk dengan pikirannya sendiri. Pun halnya dengan aku. Ada yang berlarian di kepala. Mengetuk-ngetukkan jarinya pada lipatan pikiranku.

Hampir setiap hari, ada saja orang baru bertemu dengan kita. Banyak diantaranya hanya bergegas tanpa mengucapkan salam, lalu pergi tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Sebagian lagi, masuk begitu saja dalam kehidupan. Kemudian bersama-sama menjalankan titian hari yang kadang lurus, kadang menikung, berjembatan, menanjak, menurun, berbatu, bahkan berputar. Berapa banyak orang yang berlalu dalam hidupmu, berlalang dalam harimu? Tak pernah kita tahu itu bukan?

Namun diantara sekian banyak, pasti ada orang-orang tertentu yang kehadirannya seperti sebuah sendok di cangkir kopi pagi. Sendok itu bukan kopi, bukan pula cangkir. Tapi ia menceburkan dirinya hingga menjadi satu yang utuh bersama secangkir kopi. Dalam kehidupan, ada sendok-sendok yang memberikan gula sebagai pemanis bagimu, menyisihkan kepahitan yang sedang kau alami. Ada sendok yang mengadukkan serbuk susu atau krim, atau yang lainnya. Membuat hidupmu tak lagi pahit, tak lagi hitam. Namun inilah realita. Tak selamanya sendok membawa hal-hal manis. Mungkin saja ia melumerkan zat-zat atau bahan-bahan lain yang membuat kopimu menjadi lebih pahit. Bahkan tak layak lagi untuk kau minum. Kehidupanmu seperti hancur. Tak lagi punya nyala. Lalu kau mulai mencari siapa yang salah. Tak jarang seluruh sisa hidupmu kau habiskan untuk mencari jawabnya. Bijakkah itu? Kupikir tidak. Hal paling baik yang harus dilakukan adalah segera mengganti kopimu, cangkirmu, kehidupanmu. Memulai lagi semuanya pada pagi yang merekah, tanpa sendok yang telah membuatmu lebur. Ada baiknya untuk selalu melibatkan Tuhan dalam tiap sendok yang akan memasuki realita dirimu yang sesungguhnya.

Pada kenyataannya, itu semua tak semudah seperti saat aku menuliskannya. Banyak hal yang saling berkejaran di benak. Ada sesuatu yang membuat sulit untuk mengganti seluruh kopi dan cangkir itu. Bagaimanapun, segala sesuatu telah tertanam di dalamnya. Menumbuh, menguntum dan bermekaran. Tiap kali kau mencabut salah satu diantaranya, kau merasa sebuah sisi di hatimu ikut tercabut. Kau merasa tak sanggup. Kau takut untuk jatuh, untuk merasakan sakit kembali. Lalu kau berpikir, takkan mampu untuk bangkit.

Kawan, ada banyak sendok yang berhiliran dan bermudikan. Ketika salah satu atau lebih sudah mulai membuatmu koyak, mari sama-sama kita kuatkan hati untuk melakukan pergantian. Bila kau takut kenanganmu turut hilang, cuci saja cangkirnya, tak usah beli yang baru. Tapi jangan lagi kau biarkan sendok itu menaburkan luka yang sama sekali lagi. Cukup hanya sekali.


Sumber : Kompasiana