Kamis, 18 Agustus 2011

Menerka Pasar Keuangan 2011

Secara teori, pergerakan harga di pasar keuangan merefleksikan antisipasi pelaku pasar terhadap kondisi fundamental perekonomian. Apabila inflasi diperkirakan menurun dan credit rating dipertimbangkan meningkat maka imbal hasil (yield) obligasi akan membaik.

Jika suku bunga diperkirakan turun dan pertumbuhan ekonomi membaik maka harga di pasar saham dan di pasar komoditas akan meningkat. Dan selanjutnya aliran modal dari luar negeri yang masuk ke pasar keuangan akan membuat kurs mata uang terapresiasi.

Empat hal tersebut terjadi di pasar keuangan Indonesia pada 2010. Yield obligasi Surat Utang Negara (SUN) berjangka 10 tahun membaik signifikan dari 10 % ke 7,9% karena investor mengantisipasi perbaikan credit rating ke investment grade.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) meningkat 46%, suatu pertumbuhan yang spektakuler dari 2.534 ke 3.703 didorong oleh peningkatan laba perusahaan Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan menembus 6%. Pada 2010, harga kelapa sawit menguat 43%, harga batu bara naik 31%, dan harga karet meningkat 107% seiring dengan tingginya permintaan di negara berkembang seperti China dan India yang sedang mengalami booming economy.

Penambahan aliran modal asing yang masuk ke Surat Utang Negara pada 2010 mencapai sekitar Rp90 triliun, belum lagi ditambah dengan aliran modal asing yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia dan pasar saham. Sepanjang 2010, pasar modal Indonesia berhasil memberikan dana Rp103 triliun kepada para emiten yang melakukan IPO, rights issue, dan penerbitan obligasi.

Bank Indonesia dalam rangka memupuk cadangan devisa dan menghindari rupiah yang terlalu kuat, telah membeli dolar AS yang masuk ke pasar keuangan. Jika tidak ditahan oleh Bank Indonesia maka kurs rupiah kemungkinan sudah menembus angka Rp8.500 per dolar AS. Cadangan devisa sudah mencapai US$93 miliar, naik dari akhir 2009 yang hanya US$66 miliar.

Masih akan naik

Apakah pada 2011 pasar keuangan Indonesia masih akan menikmati kenaikan harga saham, pembaikan yield SUN, penguatan rupiah, dan kenaikan harga komoditas?

Banyak analisis yang mengatakan bahwa pada tahun ini indeks harga saham masih akan naik, kurs rupiah masih akan stabil atau menguat, harga komoditas energi dan pangan akan terus meningkat, tapi yield obligasi SUN akan memburuk (naik).

Mari kita bahas satu persatu. Harga saham Indonesia di indeks 3.703 secara valuasi sebenarnya sudah tidak murah, yaitu sekitar 14 x PER (price earning ratio) 2011. Seiring dengan perbaikan kondisi politik dan ekonomi maka valuasi saham Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat dari 5 x PER menjadi 14 x PER.

Akan tetapi valuasi pasar saham Indonesia pernah mencapai 18 x PER pada awal 2008, bahkan dulu pernah mencapai 20 x PER pada era 1993 - 1997. Di era 1993 - 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia memang lebih tinggi dari pada saat ini, yaitu diatas 6,5%. Akan tetapi profitabilitas atau return on equity (RoE) emiten bursa saham Indonesia  saat ini lebih tinggi dari pada di era 1995–1997 contohnya emiten perbankan, semen, batubara, dan perkebunan.

Emiten di bursa saham Indonesia saat ini banyak yang memiliki RoE di atas 20%, artinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yield Surat Utang Negara berjangka 10 tahun (7,5%). Pada 2011 menurut data Mandiri Sekuritas, diperkirakan 56 emiten besar akan memiliki pertumbuhan laba (earning per share) sebesar 27% dengan RoE 23%. Dengan keyakinan bahwa ekonomi negara maju pertumbuhannya masih lebih lambat dibandingkan dengan negara di Asia, maka pasar saham Asia masih akan lebih menarik dibandingkan dengan pasar saham negara maju.

Berpegang pada skenario optimis tersebut, beberapa analis memakai target valuasi PER 17 - 18 kali untuk peningkatan indeks saham Indonesia di 2011 atau setara dengan IHSG 4.300 - 4.500. Pada 2011 tampaknya saham sektor energi, metal, dan perkebunan, akan lebih bergairah dibandingkan dengan saham sektor perbankan, infrastruktur, dan konsumsi.

Akan tetapi investor tetap harus waspada terhadap ancaman inflasi akibat kenaikan harga komoditas karena bank sentral kemungkinan akan bereaksi dengan melakukan pengetatan moneter. Kondisi stabilitas ekonomi di Eropa juga harus dipantau. Di saat valuasi sudah tidak murah maka pasar saham mudah terkoreksi oleh berita berita negatif.

Sudah mulai terlihat di kuartal IV/2010 bahwa tekanan harga pangan dan energi telah meningkatkan inflasi di Indonesia menjadi di atas 6,5%. Kenaikan inflasi berakibat negatif bagi pasar obligasi Surat Utang Negara berhubung yield-nya saat ini cukup rendah.

Jika kenaikan inflasi tidak ditanggapi oleh bank sentral dengan pengetatan moneter maka investor akan mulai menjual sehingga yield SUN akan meningkat sekitar 100 bp (basis poin), misalnya menjadi 9,0% untuk SUN jangka waktu 10 tahun. Apalagi jika terjadi pemburukan pada situasi fiskal negara Eropa (Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, Itali) maka pasar SUN bisa ikut terpengaruh negatif.

Selain ditentukan oleh jumlah modal asing yang masuk, kurs rupiah juga ditentukan oleh kebijakan Bank Indonesia. Menurut perkiraan Bank Dunia, modal portofolio asing diperkirakan masih masuk sekitar US$14,3 miliar pada 2011, sedikit turun dibandingkan US$15,9 miliar yang masuk pada 2010.

Dengan menguatnya harga komoditas maka ekspor Indonesia juga akan meningkat, demikian pula cadangan devisa berpotensi naik menjadi lebih dari US$110 miliar. Dengan jumlah cadangan devisa yang cukup maka tampaknya BI mempunyai ruang untuk membiarkan kurs rupiah menguat ke Rp8.700 - Rp8.800 pada 2011 sekaligus untuk menekan inflasi.


Oleh: Mirza Adityaswara, Ekonom Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)