Selasa, 09 Agustus 2011

Demokrasi Di Kursi Goyang

Seorang jenderal polisi senior bercerita, ia pernah ditanya dalam sebuah seminar oleh ibu-ibu setengah baya. Kata si Ibu, pusing melihat Indonesia sekarang ini, seperti tidak aman dan tidak te­­nang.

Bagaimana caranya polisi bisa membantu membuat warga lebih tenang dan merasa nyaman?

Begitu kurang lebih pertanyaan si ibu yang dikutip sang Jenderal. Maka dijawablah pertanyaan itu dengan santai. “Ibu tak usah baca surat kabar dan matikan televisi seminggu saja. Maka Ibu akan merasa tenang dan tenteram,” kata Jenderal polisi itu.

Tanpa bermaksud menempatkan media di kursi terdakwa, saya senang dan mencoba memahami ide cerita Jenderal polisi tersebut.

Intinya, di tengah arus utama demokrasi, di mana media menjadi pemain utama yang tengah asyik menjalankan kebebasannya, para “aktor demokrasi” di negeri ini memiliki medium dalam menjalankan perannya melalui media, sehingga dampaknya Indonesia begitu noisy, gaduh bukan main. Saban hari ada saja cerita yang membuat kita tidak semakin paham, tetapi semakin bingung atas sebuah untaian peristiwa. Sekadar contoh adalah kisah Om Nazaruddin.

Namun, satu hal, Anda jangan bicara dampaknya ke ekonomi atau bisnis, seperti pada akhir dasawarsa 1990-an silam, ketika kegaduhan demokrasi berkorelasi langsung dengan kerapuhan ekonomi.

Justru saat ini, kegaduhan demokrasi dan kerapuhan politik tak membuat ekonomi menjadi sontoloyo. Tampaknya, pelaku ekonomi dan bisnis sudah mulai sadar dan makin mampu membaca tanda-tanda jaman: biarkan demokrasi dan politik gaduh, ekonomi jalan sendiri.

“Semakin jelas adanya decoupling antara politik dan ekonomi kita,” kata seorang ekonom.

Betul. Perceraian politik dengan ekonomi memang kian nyata. Bahkan kini perceraian antara ekonomi-bisnis dengan kebijakan pemerintah pun semakin jelas pula.

Maka istilah autopilot menjadi sering terdengar, karena pelaku bisnis makin merasa bahwa tanpa kebijakan pemerintah pun ekonomi jalan, meskipun jalan hanya sekadarnya.

Dengan kebijakan yang baik, seharusnya ekonomi jalan lebih kencang lagi dan tidak tersumbat oleh ketidaklincahan birokrasi.

Contoh yang nyata adalah berita baik akhir-akhir ini, di mana banyak perusahaan di Indonesia ternyata mampu membukukan ke­­naikan laba bersih secara spek­takuler, di atas 20% dibandingkan tahun lalu.

Sektor perbankan rata-rata mampu mengantongi pertumbuhan laba di atas 23%, dan sektor properti bahkan di atas 30%. Intinya, kita sedang dalam momentum yang sangat baik, di tengah redupnya ekonomi Amerika dan Eropa.

Yang lebih mencengangkan adalah sektor otomotif. Anda tentu tahu, meski sempat terpukul oleh dampak tsunami Jepang Maret lalu, penjualan mobil di Indonesia ternyata pulih lebih cepat.

Juli lalu bahkan tercatat 88.000 lebih unit mobil terjual. Ini adalah rekor baru sepanjang sejarah Republik ini. Itu pun belum mengal­kulasi penjualan selama pameran Indonesia International Motor Show di Kemayoran, yang dilapor­kan berhasil mencatat transaksi pen­­jualan sebanyak 11.585 unit mobil.

Akan tetapi sayangnya, kita selalu dice­koki dengan kabar kemacetan jalanan di berbagai kota. Gemilang bisnis otomotif dituding sebagai salah satu biang keladi kemacetan, terutama di Jakarta.

Tentu, tudingan itu sangat mudah diperdebatkan dari berbagai sudut pandang. Menurut kalangan pelaku bisnis, jumlah pajak yang disetor industri otomotif nasional mencapai Rp88 triliun setahun.

Namun, dari jumlah itu tak banyak yang kembali kepada pembangunan infrastruktur khususnya jalan raya. “Kurang dari 10% saja,” kata seorang pelaku industri otomotif papan atas di Indonesia.

Tentu ini fakta yang mengejutkan, meski sebenarnya bukan sama sekali baru.

***

Infrastruktur adalah soal klasik yang terus dibincangkan. Presiden pernah bilang, pembangunan infrastruktur yang disampaikan oleh para menteri dan gubernur yang membantunya “Cuma pepesan kosong”. Tapi saya heran, setelah keluar pernyataan yang katanya teguran keras itu kok sampai sekarang tetap saja sedikit kemajuan dalam pembangunan infrastruktur kita. Bahkan, kesannya, pepesan itu tetap kosong sampai sekarang, nggak juga segera diisi.

Maka, kalau kita bandingkan dengan memori masa lalu, terlihat kontras sekali. Seorang sahabat yang lahir di Padang bilang, jalan lintas Sumatra tak akan pernah terwujud tanpa tekad yang kuat pemerintahan Orde Baru.

Padahal, jalan raya yang membentang dari Utara sampai Selatan Pulau Sumatra, dari Banda Aceh hingga Pelabuhan Bakauheni, Lampung, itu memiliki total panjang jalan lintas Sumatra mencapai lebih dari 2.508 km.

Pada era itu pulalah terbangun jalan tol, terutama di Jawa, sepanjang lebih dari 600 km.

Pemerintah berkeinginan memper­cepat pembangunan jalan tol baru sepanjang 1.600 km pada pe­­riode 2005-2010, tetapi sampai saat ini baru seujung kuku ruas yang direncanakan itu berhasil di bangun.

Masalahnya klasik, kesulitan membebaskan lahan. Padahal, pembiayaan kini lebih mudah, setelah swasta banyak yang berpartisipasi dengan dukungan sejumlah lembaga perbankan termasuk Bank BUMN.

Lantas mengapa tak mampu membebaskan lahan? Di Malaysia, panjang jalan tol sudah jauh melampaui Indonesia. Padahal, negeri itu awalnya belajar dari Jasa Marga. Lalu di China, jalan tol sudah seperti jaring laba-laba, yang didukung jaringan kereta api, pelabuhan laut dan pelabuhan udara. Maka, ekonomi China terus tumbuh kencang, meski orang banyak yang bilang kini negeri itu menghadapi ancaman kepanasan.

Maka, seorang kawan, jurnalis senior protes keras ketika saya bilang: kita perlu sedikit melakukan koreksi terhadap demokrasi dengan pemimpin yang, harap ditekankan, sedikit otoriter, “tetapi baik”.

Kata “tetapi baik” sengaja saya tebalkan, untuk membedakan dengan pengalaman masa lalu dengan pemimpin otoriter yang dianggap “tidak baik”. Dia bilang, otoriter tetaplah otoriter, dan demokrasi tetaplah yang terbaik.

Tentu saja, saya tidak ingin berdebat soal itu. Terserah saja menggunakan istilah yang Anda suka. Intinya, kita perlu sikap yang firm dan tough, kalau boleh pinjam istilah orang bule sana. Jangan berdalih demi demokrasi lalu lembek seperti kerupuk basah yang tersiram air.

Maka, saya senang ketika seorang ekonom senior, sambil menikmati buka bersama, bilang: “Fokus sajalah dulu pada tujuan-tujuan penting. Kalau memang ingin selesaikan infrastruktur dulu, selesaikanlah. Tak perlu bercabang-cabang dan ingin menyelesaikan segala urusan. Mana yang dianggap terpenting, segerakanlah. Yang tak terlalu penting, tunda sajalah.”

Bagi saya, untuk bisa seperti itu butuh seorang yang otoriter. Tetapi otoriter yang baik: Tidak membunuh rakyat, tidak menipu masyarakat.

Percuma menjadi negara demokrasi yang dipuji-puji negara lain, kalau kita justru tidak mendapatkan banyak manfaat. Lebih percuma lagi, kalau keagung­an demokrasi justru ditunggangi atau menjadi sarana untuk menipu masyarakat yang hidup di negara yang seolah-olah menjalankan etika demokrasi.

***

Ah, saya kok jadi ingat cerita seorang eksekutif BUMN yang je­­bol­an Institut Teknologi Bandung. Katanya, saat ini susah merekrut lulusan perguruan tinggi yang benar-benar kapabel.

Katanya, meski Indeks Prestasi-nya 3,5, tetapi “nggak ada isinya”. Ya, mau bagaimana, wong masuk kuliah saja sudah harus bayar Rp1 miliar, tuturnya sambil menyebut sebuah perguruan tinggi negeri ternama. Karena sudah beli kursi yang mahal, tak beranilah para dosen kasih nilai tak bagus. Nanti diprotes orang tuanya, kata eksekutif ini mengutip dosen perguruan tinggi itu.

Itulah. Perguruan tinggi pun lebih mengedepankan tujuan komersial. Maka, kompetensi lulusannya menjadi urusan nomor dua. Ironisnya, meski anggaran pemerintah untuk pendidikan besar, karena plafon 20% sesuai undang-undang, sekolah justru semakin mahal.

Padahal, generasi terdidik saat inilah yang sebenarnya diharapkan menjadi tulang punggung dalam meluruskan demokrasi di negeri ini. Merekalah yang kita harapkan menjadi tulang punggung membangun kembali peradaban bangsa ini, yang bakal mengemudikan kapal besar bernama Indonesia Raya ini.

Jadi, kalau ceritanya seperti itu, percayalah, untuk sementara ini, negeri kita tak akan ke mana-mana. Ibaratnya, demokrasi kita sedang mencoba duduk dengan benar di kursi goyang. Tapi belum benar-benar bisa duduk, kursi itu terus bergoyang-goyang, sehingga selalu hilang keseimbangan.

Karena itu, banyak muncul yang aneh-aneh belakangan ini. Ikhlaskan saja mendengar Om Nazaruddin “menyanyi” setiap hari di televisi. Kita harus siap mendengar ide membubarkan Komite Antikorupsi dari seorang pimpinan parlemen pilihan Anda sendiri.

“Anehnya, yang aneh-aneh seperti itu dibiarkan saja…Tampaknya para pemimpin negara lebih sibuk ngurus partai ketimbang ngurusin rakyatnya…” kata eksekutif BUMN ini berseloroh kepada saya saat berkesempatan ngopi di sebuah kafe hotel di kawasan segitiga emas Jakarta. Ya, dalam hati saya sangat setuju dengan selorohnya.


Oleh Arif Budisusilo, Wartawan Bisnis Indonesia