Selasa, 02 Agustus 2011

Membaca Prediksi Futurolog

Berbagai kalangan terus menyuarakan optimisme akan masa depan perekonomian Indonesia. Setelah lembaga keuangan internasional, kini para futurolog memprediksi cerahnya masa depan perekonomian nasional. Mereka meyakini Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki prospek ekonomi terbaik di dunia. ”Saya kira ekonomi Indonesia memiliki prospek yang sangat bagus, mungkin berada di urutan kedua setelah India,” tutur Robert D Kaplan, futurolog asal Amerika Serikat, seusai bertemu dengan Presiden SBY di Kantor Presiden, Jakarta, 27 Juli yang baru lalu (www.seputar-indonesia.com, 28/7/2011).

Prediksi-prediksi yang mendayu-dayu semacam itu sudah berkali-kali menyambangi telinga rakyat Indonesia. Tetapi, kekuatan pengaruhnya tidak dapat mencairkan realitas frustrasi sosial yang kini mendera sebagian warga bangsa. Seberapa tinggi dan baik ramalan para futurolog itu akan ditangkap publik lalu disandingkan dengan realitas empirik di lapangan. Keduanya tidak membutuhkan pergumulan serius. Sebab realitas dan fakta konkret akan selalu menjadi pemenang. Seribu kata manis tak mampu menutupi satu kepedihan yang dirasakan.

Para futurolog yang menyelenggarakan konferensi internasional futurologi di Hotel Shangri-La Jakarta mencoba membaca kecenderungan ekonomi global dengan bercermin pada data makro. Akan tetapi, rakyat Indonesia sudah berpengalaman menjadi korban manipulasi data makro. Bahwa data makro hanya layak jadi konsumsi penyelenggara negara. Bukan rakyat.

Yang menarik adalah tema konferensi itu sendiri. Bertemakan “How the World Will Change in the Next 30 Years: World Experts Talk about Global Trends and Force that will Sweep the 21st Century”, konferensi itu diselenggarakan guna meningkatkan pemahaman berbagai kalangan pembuat kebijakan dan masyarakat Indonesia terhadap kecenderungan strategis di dunia. Pertanyaan kita terkait tema konferensi adalah apakah dunia mesti diubah sebagaimana jalan pikiran Karl Max yang mengecam para filsuf sebab hanya sibuk memikirkan dunia? Atau haruskah dunia dipahami, bukan diubah, sebagaimana diingatkan Paul Ormerod dalam Butterfly Economics: A New General Theory of Social and Economic Behavior? Bahwa dunia tidak dapat diubah sesuai selera kita. The world can not be changed to suit our convenience, kata Ormerod. Maka, yang diperlukan adalah memahami dunia.

Hal lain yang juga menarik dari para futurolog itu terkait prediksi mereka atas masa depan ekonomi Indonesia adalah diajukannya fakta geografis sebagai sebuah bentuk keunggulan. Indonesia konon sangat diuntungkan dari sisi letak geografis, kata mereka. Selain itu, demokrasi yang dianggap makin maju juga akan memegang peranan penting dalam membawa kemajuan ekonomi Indonesia di masa depan. Tidak hanya itu. Besarnya jumlah penduduk juga disebut-sebut sebagai faktor keunggulan Indonesia. Penting diingatkan, seluruh faktor tersebut sudah menjadi milik Indonesia, bahkan jauh sebelum RI berdiri. Keunggulan lain yang meninabobokan Indonesia adalah kekayaan alam yang melimpah dengan tanah yang subur. Kita tidak menolak semua itu sebagai karunia Illahi. Tetapi kemajuan sebuah bangsa rupanya tidak semata-mata ditentukan oleh karunia-karunia itu. Salah kelola, mismanagement, orientasi dan visi yang tidak jelas, pemerintah yang korup dan lain-lain merupakan faktor-faktor yang secara kasat mata merontokkan harapan rakyat untuk mengubah kekayaan alam tadi dan keunggulan geografis itu menjadi kesejahteraan. Tak jarang SDA yang melimpah justru menimbulkan kesengsaraan rakyat.

Kita memandang prediksi itu sebagai harapan yang perwujudannya memerlukan strategi yang tepat. Namun, jangan sampai kita dininabobokan oleh prediksi yang tidak berpijak pada realitas sehari-hari yang dihadapi rakyat. Diingatkan bahwa sesungguhnya para penyelenggara negara belum sepenuhnya memahami Indonesia sebagai sebuah unikum dengan berbagai tantangan yang kian kompleks. Berbagai masalah yang terbentang antara Jakarta dan daerah yang tidak terselesaikan, umpama regulasi yang tumpang tindih, tiadanya sinergi antarlembaga serta pusat-daerah, menjadi bukti konkret ketidakpahaman itu. Jika demikian, mungkin kita mesti mengambil jalan yang ditunjukkan oleh Ormerod bahwa yang paling penting adalah memahami dunia. Memahami Indonesia.


Business News