Kamis, 18 Agustus 2011

Siapa pemimpin Anda: Buaya atau lumba-lumba?

Ini adalah cerita Rhenald Kasali. Menurut ahli manajemen dari Universitas Indonesia itu, dengan merujuk sejumlah referensi yang diusungnya, terdapat tiga tipe pemimpin perusahaan yang dikenal dengan karakternya masing-masing.

Pertama adalah pemimpin tipe buaya atau reptil. Kedua, pemimpin tipe lumba-lumba, dan ketiga pemimpin tipe mamalia.
Seperti apa karakter buaya? Disiplin, berdarah dingin, inisiatif, mission accomplished atau tuntas dalam menyelesaikan pekerjaan, suka sendirian (dettached) dalam memutuskan, detil, number oriented, decissive, rasional, dan mengutamakan content.

Biasanya, pemimpin tipe buaya identik dengan profesional atau orang-orang yang memiliki latar belakang disiplin keuangan yang kuat, kata Rhenald.

Lalu apa karakter pemimpin lumba-lumba? Menurut penulis buku Crack Zone itu, karakter lumba-lumba berdarah hangat, memiliki kecenderungan nurture (merawat), care atau peduli, mengembangkan manusia alias people development, dan guyup atau melibatkan orang lain.

Banyak pemimpin usaha di Indonesia, kata Rhenald, yang ngaku lumba-lumba, tetapi kalau diuji ternyata tipe buaya.
Satu lagi adalah mamalia. Tipe yang terakhir ini memiliki karakter lebih membumi: komunikatif, intuitif, mengutamakan konteks bukan semata konten, melibatkan orang lain (attached) sehingga mampu membangun teamwork, partisipatif, dan mengedepankan empati.


***

Ini adalah cerita tentang Michael D. Ruslim. Almarhum, seperti Anda tahu, adalah Chief Executive Officer Astra International, yang meninggal dunia pada 20 Januari tahun 2010 silam.

Saya merasa perlu menulis di kolom ini, karena kisah Michael sangat inspiratif bagi para pemimpin perusahaan dan pemimpin bisnis. Saya rasakan pula ketika Rabu lalu diundang hadir dalam peluncuran buku mengenang salah satu pemimpin terbaik Astra itu: Lead by Heart alias Memimpin Dengan Hati.

Hampir semua yang bicara pada acara peluncuran buku itu seperti menahan isak dan sedu, termasuk pilot baru Astra, Prijono Sugiarto, serta pendahulunya, Rini Soewandi. Michael dan Rini sama-sama bergabung ke Astra setelah keluar dari Citibank.

Michael masuk Astra pada 1983, memulai karir dengan mengembangkan bisnis jasa keuangan kelompok usaha itu. Lalu pada 1991 Michael diangkat menjadi Direktur Astra International, dan pada 2002 dipercaya sebagai Wakil Direktur Utama. Pada 2005, Michael ditunjuk sebagai Direktur Utama hingga meninggal dunia tahun lalu.

Mengelola 145.000 karyawan di Astra, tentu bukan perkara mudah. Tetapi, kata Prijono, “Michael menggerakkan orang lain, dan membuat orang lain mau tidak mau membantu dan mau bekerja dengannya. Ketika diminta membantunya, saya tidak bisa mengatakan lain.”

Teddy P. Rachmat, senior di Astra, menggunakan istilah consigliere yang dipopulerkan Mario Puzo dalam novel yang kemudian menjadi film legendaris: The God Father. Kata yang bermakna sebagai penasihat andal, untuk mendeskripsikan Michael Ruslim. “Michael objektif, logis dan tidak bias. Dia itu consigliere di Astra,” kata Rachmat.

Empati terhadap bawahan juga tinggi. “Dia perhatikan orang-orang kecil. Bahkan gaji pembantu lebih besar dari gaji manajer di Astra,” begitu testimoni TP Rachmat ihwal juniornya itu.

Sahabat Michael, Agus Martowardojo, juga punya kesan, “Michael tipe sahabat yang selalu ada saat kondisi baik dan tidak baik, saat sedih dan gembira.” Sebagai teman profesional, Menteri Keuangan itu menyebutkan Michael tidak hanya didukung know how yang menonjol tetapi juga kejujuran, integritas, kerja keras, empati, keteladanan sikap serta karakter kepemimpinan yang kuat.

“Semua yang baik ada di Michael, tinggal yang buruk di badan saya saja. Dia tidak saja pandai, tapi punya visi kuat, mampu melakukan improvement dan perubahan. Dia leader, bukan sekadar manajer,” begitu kata mantan pemimpin puncak Bank Mandiri itu.

Menggelitik adalah pertanyaan, apa kekurangan Michel? Tak ada yang bisa menjawab. “Dia terlalu generous, itu kelemahan sekaligus kekuatan dia juga. Bahkan orang yang kelihatan kurang baik pun dibantu juga,” kata Agus. TP Rachmat pun mengamini.

Keluarga juga melihat Michael sebagai tipe orang yang semua aktivitasnya terencana dan terkelola dengan baik. “Dia punya care yang tinggi terhadap keluarga…Dia siapkan things to do yang sudah terbiasa sejak SMA, bahkan table of duty untuk istrinya…,” ujar Satyadharma Ruslim, kakak kandung Michael.

Maka tak heran, sepanjang kepemimpinan Michael, Astra melesat di atas ekspektasi. Bahkan perusahaan itu mengukuhkan diri sebagai kelas “one billion dolars company”, karena mampu membukukan laba di atas US$1 miliar beberapa tahun terakhir. Unit jasa finansial yang dibangun Michael malah mampu membukukan laba Rp3 triliun tahun lalu. ”…itu tidak akan terjadi tanpa Pak Michael bangun financial services…ini adalah golden era bagi Astra…” kata Teddy Rachmat.

Dia mengenang, ketika diangkat sebagai CEO Astra, Michael kembali membangun dan menata ulang manajemen dan values Astra. “Itu kalian bisa nikmati sekarang,” begitu kata Rachmat saat berbicara dengan divisi jasa finansial Astra, yang dituturkannya kembali Rabu lalu.

Lalu apa kata Jusuf Kalla, Wakil Presiden 2004-2009? “Kalau pengusaha itu biasanya otak dulu, lalu otot, baru yang terakhir hati….makanya ada istilah saudagar, yang berarti seribu akal…” kata JK.

Nah, katanya lagi, “Pak Michael, otaknya dipimpin oleh hatinya…” Mengaku bertemu eksekutif Jardine di London beberapa waktu lalu, JK mengatakan manajemen Astra disebutkan yang paling baik di antara perusahaan-perusahaan Jardine di seluruh dunia. Jardine adalah pemegang saham Astra.

Bukan JK kalau tidak juga kurang akal. Ketika menyebut kekurangan Michael, yang orang lain ‘tak sanggup’ menyebutkannya, JK mengatakan: “Saya tanya Ibu [Ny Trisnis, istri Michael], olahraga beliau apa? Tidak ada. Itulah kekurangannya.”


***

Lalu apa tipe kepemimpinan Michael? Rhenald Kasali mengatakan Michael adalah pemimpin tipe Astra alias Astra type leader, yang mengutamakan proses dan values atau nilai-nilai.

Karakter buaya, sebagai orang yang punya latar belakang keuangan, dan karakter lumba-lumba, kata Rhenald, “Pak Michael dua-duanya punya.” Bahkan Michael juga punya kecenderungan mamalia, katanya.

Maka itulah tantangan kita. Saya setuju dengan Rhenald; leaderships haruslah kontekstual, bukan textbook. Rini Soewandi sah-sah saja ketika harus bersikap seperti reptil saat membenahi Astra pada krisis 1997-1998. Tetapi di era yang lain, butuh gaya yang ekspansif, karena konteksnya memang harus melakukan perubahan dan improvement habis-habisan, seperti dilakukan Agus Martowardojo saat memimpin Bank Mandiri, yang menjadikannya perusahaan berkelas US$1 miliar pula. Itu pulalah yang dilakukan pemilik dan pemimpin Microsoft Bill Gates ataupun Steve Jobs, sang arsitek Apple.

“Pemimpin harus tahu situasi yang tepat, set and bring energy,” begitu ungkapan Rhenald. Ia harus mampu menetapkan dan menyebarkan energi bagi tim yang dipimpinnya.

Kisah Michael adalah pelajaran bagi para pemimpin dan calon pemimpin. Jangan sampai, meminjam istilah Rhenald, wajah tidak marketable, sikap tidak marketable, bahasa tidak marketable, lantas hati juga tidak marketable. Berabe-lah kita. Maafkan kalau saya keliru. “Management skills tanpa human touch, tak ada apa-apanya,” begitu kata Satyadharma Ruslim. Setujukah Anda?


Oleh Arief Budisusilo