Senin, 08 Agustus 2011

Fluktuasi, Gejolak Atau Krisis Pasar Uang?

Minggu lalu Dow Jones, indeks bursa saham Amerika Serikat, jatuh 5,7%. Artinya dalam 2 minggu Dow Jones telah jatuh 9,7%. Kekhawatiran akan terjadinya kembali resesi di AS menghantui investor berhubung kesepakatan antara Obama-Kongres-Senat harus memotong pengeluaran pemerintah sekitar US$1,2 triliun dalam rangka mengurangi defisit anggaran pemerintah AS.

Bukan hanya di Amerika, tekanan jual masih terus terjadi di semua bursa saham Eropa berhubung kekhawatiran akan menjalarnya ketidakpercayaan atas kesehatan anggaran dan kemampuan membayar utang pemerintah Spanyol dan Italia. Yield atau imbal hasil obligasi pemerintah Italia dan Spanyol jangka waktu 10 tahun terus memburuk.

Yield obligasi Italia sempat naik ke 6,4% dan yield obligasi Spanyol 6,3%, kenaikan 100bp dalam 1 bulan. Perlu diingat bahwa Yunani, Irlandia dan Portugal beberapa bulan yang lalu terpaksa harus ditolong IMF dan Uni Eropa ketika yield obligasi ketiga negara tersebut memburuk ke 7%.

Bank Sentral Eropa tampaknya harus melakukan intervensi membeli obligasi Spanyol dan Italia agar yield tidak meningkat terus.

Karena ukuran ekonomi Spanyol dan Italia yang jauh lebih besar daripada gabungan Yunani, Irlandia, Portugal, maka akan sulit bagi Uni Eropa dan IMF menggalang dana melakukan bail out bagi Spanyol dan Italia.

Turunnya bursa saham di Amerika dan Eropa menular ke Asia pada hari Jumat yang lalu. Indeks bursa saham di Asia jatuh sekitar 3% sampai dengan 5%.

Tapi penurunan IHSG pada minggu lalu masih kita sebut sebagai fluktuasi, belum layak disebut sebagai gejolak dan juga belum pantas disebut sebagai awal krisis keuangan. Yang berfluktuasi hanyalah pasar saham.

Tidak terjadi fluktuasi yang berarti di pasar surat utang negara (SUN) yang mana yield untuk jangka waktu 10 tahun masih di kisaran yang sangat baik, 6,9%. Bandingkan dengan Januari 2011 saat yield SUN pernah memburuk ke 9% karena kekhawatiran akan naiknya inflasi pada waktu itu. Yield SUN pernah memburuk ke angka 19% pada saat krisis global akhir tahun 2008.

Kurs Rupiah minggu lalu juga relatif stabil di kisaran Rp8.520. Istilahnya, investor di pasar saham Indonesia itu hanya melakukan profit taking atau aksi ambil untung karena investor mengantisipasi kemungkinan kembalinya resesi dunia, apalagi IHSG sudah naik banyak dan valuasi price to earning ratio saham di Indonesia sudah tidak lagi tergolong murah.

Dampak rating AS

Walaupun masih dalam kategori fluktuasi, tentu saja kita harus terus memantau kejadian- kejadian di ekonomi Amerika dan pasar keuangan Eropa yang saat ini bergejolak. Gejolak di pasar keuangan Amerika dan Eropa jika terus berlanjut maka akan berpengaruh negatif kepada produksi barang dan jasa di sektor riil.

Saat ini kita harus memantau dampak penurunan peringkat rating pemerintah Amerika oleh lembaga rating Standard & Poor's (S&P) dari rating AAA menjadi AA+ yang terjadi Sabtu pagi. Sebenarnya dua lembaga rating, Moodys & Fitch, minggu lalu telah mengkonfirmasi rating AAA buat Amerika yaitu setelah terjadi kesepakatan antara Obama-Kongres-Senat buat menurunkan defisit anggaran.

Tapi S&P kecewa dengan pemotongan defisit anggaran Amerika yang dianggap tidak signifikan. S&P tidak yakin bahwa para politisi Amerika akan berkomitmen melaksanakan pemotongan anggaran tersebut. Ternyata bukan hanya di negara berkembang yang para politisinya tidak peduli terhadap pentingnya menjaga fundamental ekonomi negara.

Kita lihat saja apakah lembaga rating Moodys dan Fitch akan berubah pikiran mengikuti S&P menurunkan rating Amerika beberapa bulan ke depan.

Walaupun cukup mengagetkan, sebenarnya bagi sebagian besar pelaku pasar, penurunan credit rating Amerika, Sabtu , bukanlah hal yang menggemparkan karena hal tersebut sudah diantisipasi. Lembaga rating telah memperingatkan tentang hal ini sejak beberapa bulan yang lalu. Tapi para investor dihadapi kebingungan mencari alternatif investasi buat triliunan dolar uang mereka.

Contohnya, Pemerintah China saat ini memiliki US$1,2 triliun obligasi pemerintah AS. Para investor tetap membeli obligasi Amerika karena pilihan investasi alternatif yang likuid tidaklah banyak. Sebagian pindah ke emas, sehingga harga emas terus meningkat, akan tetapi likuiditas pasar emas tidaklah sedalam pasar obligasi Amerika.

Memindahkan dana ke obligasi euro juga tidak mungkin karena situasi ekonomi Eropa lebih buruk daripada Amerika. Memegang obligasi pemerintah Jepang juga hampir mustahil karena utang pemerintah Jepang sudah mencapai 200% dari PDB. Yang layak dibeli adalah obligasi pemerintah China, tapi saat ini belum tersedia di pasar global.

Akhirnya investor tetap memburu obligasi Pemerintah AS. Yield surat utang Pemerintah Amerika berjangka 10 tahun bahkan semakin membaik, turun ke 2,6%. Ini aneh tapi nyata.

Yang harus diwaspadai adalah jika Pemerintah Amerika tidak berhasil mengurangi defisit anggaran sesuai janjinya, maka rating AS akan terus mengalami penurunan sehingga dalam jangka menengah akan menaikkan biaya dana bagi masyarakat AS.

Spread kredit di Amerika terpaksa harus dinaikkan karena risiko meningkat. Bunga mortgage di Amerika terpaksa harus naik, akan berakibat harga properti semakin tertekan dan membuat resesi yang berkepanjangan di Amerika.

Dampak ke Indonesia

Setelah fluktuasi pasar mereda, dan selama pemerintah Amerika dan Eropa masih dalam krisis utang maka aliran modal portofolio asing yang masuk ke Indonesia akan semakin deras. Investor asing membeli SUN bukan karena rasa nasionalisme.

Semua pertimbangan investasi hanyalah tentang return (hasil investasi). Rasio fundamental ekonomi makro Indonesia dianggap oleh investor asing jauh lebih bagus daripada Amerika dan Eropa.

Inflasi Indonesia terjaga di bawah 6%. Defisit fiskal bisa ditekan di bawah 2% dari PDB dan rasio utang pemerintah dijaga di bawah 30% dari PDB. Yang selalu menjadi ganjalan adalah lemahnya penegakan hukum, lambatnya pembangunan infrastruktur dan meningkatnya komponen subsidi BBM di dalam APBN.

Memanasnya suhu politik di Tanah Air saat ini oleh para investor asing belum dianggap serius karena stabilitas keamanan masih terjaga baik. Jangan heran jika SUN, pasar saham dan obligasi korporasi Indonesia akan semakin diburu oleh investor asing.

Sekarang tinggal kita di dalam negeri harus bisa memanfaatkan dana dana portofolio tersebut masuk ke sektor riil dan mengimplementasikan pembangunan infrastruktur yang kita janji-janjikan tersebut sehingga pertumbuhan PDB Indonesia tidak hanya suboptimal 6,5% tapi bisa di atas 7,5% supaya kemiskinan bisa diturunkan.

Kita berkejaran dengan waktu. Jangan sampai Pemerintah AS dan Eropa lebih dulu menyelesaikan masalahnya dibandingkan Indonesia.


Oleh Mirza Adityaswara