Jumat, 09 Desember 2011

Bunga Kamboja

Di Bali, bunga Kamboja adalah bunga favorit untuk persembahan. Indah, sejuk, lembut rasanya di dalam sini bagi kebanyakan orang Bali bila melihat dan menggenggam bunga Kamboja. Namun di Jawa umumnya, bunga Kamboja ditanam di kuburan. Terbalik dengan apa yang terjadi di Bali. Karena di kuburan, maka kesannya seram dan menakutkan. Hanya belakangan ketika banyak pelancong yang mengagumi Bali, banyak rumah dan hotel di Jakarta ikut menanam bunga Kamboja.

Pelajarannya sederhana, pemaknaan memang relatif sekaligus subyektif. Dari satu sisi, bunga Kamboja adalah simbol kesucian. Di lain sisi, ia simbol ketakutan. Kehidupan juga serupa. Bagi siapa saja yang pernah belajar di sekolah bisnis tahun 1980 dan 1990 pasti pernah mendengar nama Lee Iacocca. Ketika itu ia kerap disebut pahlawan Amerika karena menyelamatkan raksasa otomotif Chrysler dari kebangkrutan.

Sebelum disebut pahlawan, beliau hanyalah seorang petinggi yang tersingkir di perusahaan otomotif Ford. Tidak terlalu jelas ceritanya (maklum politik memang tidak pernah terang hitam-putihnya), tiba-tiba suatu waktu Iacocca hanya kebagian kursi wakil presiden plus kantor di gudang. Tentu saja hatinya panas.

Di tengah godaan ini, tiba-tiba datang tawaran untuk memimpin Chrysler. Karena mau cepat-cepat meninggalkan kursi panas, kesempatannya diambil. Ternyata pekerjaan baru jauh lebih panas. Maka berputarlah kehidupan dari satu jurang panas ke jurang panas yang lain. Selesai menghadapi buruh mogok, datang bankir yang menagih hutang, kemudian petugas pajak, pemegang saham, distributor, keluhan pelanggan. Semuanya seperti tidak ada habisnya.

Namun keteguhan kerap menjadi kendaraan yang mengantar seseorang keluar dari terowongan gelap kegagalan. Di suatu waktu, keteguhan Lee Iacocca berbuah. Chrysler ketika itu tidak saja keluar dari krisis, namun berubah dari pecundang menjadi pemenang. Dan Iacocca sebagai komandan juga bertransformasi dari korban menjadi pahlawan. Ini memberi pelajaran inspiratif, musibah di satu tahun bisa menjadi sumber berkah di tahun lain.

Serupa bunga Kamboja, kehidupan terus berputar. Hari ini sampah bau, beberapa waktu kemudian menjadi bunga Kamboja wangi berwajah indah. Hari ini bunga wangi mewakili keindahan, beberapa hari kemudian menjadi sampah menjijikkan. Penderitaan kebanyakan manusia berakar dari sini: mau bunga namun menolak sampah. Ini serupa dengan mau api tapi menolak panas, mau air tapi membuang basah.

Itu sebabnya, guru-guru tercerahkan melatih diri keras-keras untuk menyatu dengan semua aliran kehidupan. Serupa samudera, ia penuh dengan gelombang naik-turun. Ada gelombang tinggi (dipuji), ada gelombang rendah (dicaci). Namun gelombang mana pun akan merunduk rendah hati ketika mencium bibir pantai. Maknanya, kehidupan boleh bergerak naik-turun. Namun, ketika dipanggil kematian jangan lupa merunduk rendah hati. Kematian bukan perpisahan mengerikan, namun gerakan kembali memeluk samudera yang maha luas.

Dibekali modal kontemplasi ini, ada guru yang berpesan: “Jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, namun selembut air dalam melayani orang lain”. Ada yang berpesan lain: “Agama tidak diniatkan untuk menyerang orang, namun untuk menyerang kekurangan-kekurangan kita”.

Kadang ada yang bertanya, setelah mencapai pencerahan, apa berarti kehidupan selalu pasif? Sifat alami pencerahan jauh dari kepasifan. Ia serupa dengan kambing dan serigala. Bila kambing dikasi makan daging, secara alamiah ia akan menolak. Jika serigala dikasi makan rumput, secara alamiah ia akan menghindar.

Guru-guru tercerahkan juga serupa, ada memang yang tinggal di gua-gua sepi. Namun mereka menyepi bukan untuk diri sendiri, melainkan menjaga keseimbangan alam. Sebagian besar guru tercerahkan beredar di masyarakat. Baju luarnya bisa bermacam-macam, namun spirit di dalamnya sama: kehidupan adalah kendaraan pelayanan!.

Persis sama dengan bunga Kamboja. Di Bali boleh digunakan sarana persembahan. Di Jawa boleh ditanam di kuburan. Namun, di kedua tempat itu bunga Kamboja tetap melayani kehidupan dengan menebar keindahan dan keharuman. Begitu juga dengan mahluk tercerahkan, pujian tidak memproduksi kesombongan, cacian tidak menjadi bahan kemarahan.


Gede Prama