Senin, 19 Desember 2011

Cacat Sensus Penduduk

Setelah data konsumsi kentang diketahui tidak akurat, konsumsi beras per kapita yang tidak valid dan tidak akurat, kini jagad statistical Indonesia kembali dikejutkan oleh ketidakauratan penghitungan penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk 2010. Bagaimana menjelaskan persoalan yang serius ini?

Seperti diketahui, jumlah total penduduk Indonesia yang diperoleh dari hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang dilakukan oleh BPS disebutkan 237.641.326 jiwa. Angka ini lalu menjadi pegangan bagi semua kalangan yang tidak hanya terbatas di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Berbagai analisis dan kebijakan yang dibuat tentu saja mengacu pada angka tersebut. Namun, setelah setahun berjalan, terungkap fakta yang cukup menghebohkan. Pasalnya, angka itu tidak tepat alias salah sebagai akibat terjadinya ke­salahan penghitungan.

Sembilan juta penduduk Indonesia belum terhitung dalam sensus penduduk tadi. Yang mengherankan, kekeliruan itu justru mencuat setelah dikemukakan di Bappenas, bukan di gedung BPS sebagai otoritas pelaksana Sensus Penduduk tahun 2010 itu. Seperti diberitakan, dalam rapat yang diadakan oleh Bappenas yang dihadiri sejumlah elemen, seperti UNFPA, BKKBN, LDFEUI, Kementerian Kesehatan, Australia National University, LSM, dan BPS sendiri, terkuak bahwa sembilan juta penduduk Indonesia tidak terhitung di dalam total penduduk sebesar 237.641.326 jiwa tersebut yang dipublikasikan sebagai hasil SP-2010 (www.jurnas.com, 1/12/2011).

Kalangan terkait boleh saja mengajukan apologi dengan mengatakan bahwa kekeliruan itu terjadi karena ada kekurangan saat melakukan sensus atau karena terkendala luasnya geografis Indonesia sehingga menyulitkan petugas sensus mendata seluruh penduduk. Tetapi, bagaimanapun, kesalahan yang terungkap setelah satu tahun ini mesti dilihat sebagai malapetaka statistikal yang cukup serius. Mengapa?

Pertama, angka jumlah penduduk merupakan basis data yang melandasi semua kebijakan terkait penduduk atau manusia di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Ambil beberapa contoh, kebutuhan gedung sekolah di suatu daerah selalu mengacu pada jumlah penduduk sesuai jenjang usia. Tidak hanya itu. Jumlah penduduk dan persebarannya juga menjadi acuan penentuan jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Angka tersebut akan menentukan besaran beras raskin, jamkesmas dan lain-lain terkait pemberantasan kemiskinan. Dan masih banyak lagi. Jumlah sembilan juta itu tidak sedikit. Jumlah itu le­bih besar daripada penduduk Sulsel. Juga lebih besar dari gabungan penduduk Provinsi Sulut, Sulteng dan Gorontalo. Maka, bisa dibayangkan jika angka yang tidak masuk hitungan itu berada di daerah-daerah yang dikenal sebagai kantong-kantong kemiskinan.

Kedua, data statistik merupakan acuan pen­ting bagi peneliti dalam melakukan penelitian, penelitian mana seringkali digunakan sebagai acuan atau pertimbangan penting bagi pemerintah dan pembuat kebijakan. Itu sebabnya, penggunaan data yang tidak akurat dipastikan akan menimbulkan persoalan pada kebijakan itu sendiri, bahkan penerapannya di lapangan.

Ketiga, malapetaka ini lagi-lagi dapat dikaitkan dengan fenomena rendahnya integritas lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagaimana disimpulkan dari survei integritas yang dilakukan KPK belum lama ini. Dalam kaitan itu, kesalahan tersebut sesungguhnya bukan hanya soal cacat sensus itu sendiri, akan tetapi cacat serius yang diproduksi oleh lembaga sekaliber BPS yang selama ini menjadi satu-satunya badan pelaksana sensus penduduk di Indonesia. Terungkapnya ketidakakuratan data itu setelah lebih setahun tak pelak menempatkan BPS pada titik sorotan. Maka, wajar jika publik menuding BPS telah melakukan pembiaran, untuk tidak mengatakan pembohongan publik.

Andai saja sembilan juta penduduk yang tidak dihitung itu tersebar merata di seluruh provinsi, maka di tiap provinsi terdapat setidaknya 272 ribu penduduk yang tidak dihitung. Mengingat seriusnya masalah ini, BPS perlu segera mengambil langkah konkret dengan merilis jumlah penduduk yang sebenarnya dari SP-2010. Ini penting dilakukan untuk memastikan adanya koreksi secara resmi. Pengguna data itupun terbantu karena tidak berlama-lama berpegang pada data yang tidak akurat.


Business News