Minggu, 18 Desember 2011

Menurunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2012

Belakangan ini sejumlah lembaga pemerintah maupun swasta menurunkan proyeksi perekonomian Indonesia tahun 2012. Ambil contoh Bank Indonesia (BI) yang mengoreksi target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2012 dari 6,7% menjadi 6,3% akibat krisis global.

Angka itu lebih rendah dari target pemerintah sebesar 6,7%. Proyeksi BI itu berasal dari beberapa indikator seperti konsumsi rumah tangga 4,7%, total konsumsi 4,6%, dan total investasi 11%. Permintaan domestik diperkirakan 6,3%, ekspor barang dan jasa 10,9% dan impor barang dan jasa 12%.

Padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 mencapai 6,6%, yang terdiri atas konsumsi rumah tangga 4,8%, total konsumsi 5,9%, dan total investasi 9,4%. Sedangkan permintaan domestik 6,9%, ekspor barang dan jasa 14,3% dan impor barang dan jasa 18%. Sektor konsumsi yang porsinya mencapai 65,8% tetap akan menjadi pendukung utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Penurunan permintaan dan harga komoditas di pasar global akan membuat inflasi menurun. Laju inflasi tahun 2011 dan tahun 2012 diperkirakan mencapai 4,7% dan 4,9%, atau sesuai dengan target inflasi BI. Namun BI mewaspadai ancaman kenaikan inflasi tahun 2012 akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi itu disebabkan turunnya perkiraan pertumbuhan ekonomi global yang semula 4% menjadi 3,8%. Penurunan ini disebabkan turunnya kinerja ekspor Indonesia yang berdampak lesunya permintaan investasi sektor ini. Namun hal ini tidak berlaku pada konsumsi dan investasi pada bidang domestik. Sektor konstruksi, transportasi, dan penambahan mesin untuk pemenuhan permintaan dalam negeri masih tumbuh kuat.

Sementara itu, kendati krisis surat utang di kawasan Eropa dan pelemahan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan semakin dalam, perekonomian negara-negara di kawasan timur Asia, termasuk Indonesia, diperkirakan tumbuh moderat pada tahun 2012.
Untuk Indonesia, perkiraan pertumbuhan direvisi turun menjadi 6,5% dari sebelumnya 6,8%. Keyakinan tersebut disampaikan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) dalam laporan terakhir berjudul ‘Asia Economic Monitor’ yang dirilis pekan lalu (6/12).

ADB optimistis, kalaupun krisis yang melanda Eropa dan AS makin parah, dampaknya terhadap perekonomian negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur masih dapat terkelola dengan baik.

Namun demikian, gejolak yang melanda Eropa akan makin membahayakan bagi perdagangan dan keuangan negara Asia Timur yang tengah berkembang. Jadi, para pembuat kebijakan di wilayah ini harus mempersiapkan dengan baik, tegas, dan kolektif untuk menangkal apa yang dikhawatirkan sebagai pelemahan ekonomi global yang berkepanjangan.

Kendati negara-negara Asia Timur cukup kuat menahan dampak krisis ekonomi dunia, ADB menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk kawasan pada tahun depan menjadi 7,2% dari sebelumnya 7,5%. Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih sebesar 7,5%.

Dari skenario terburuk yang dibuat ADB jika ekonomi di wilayah Eropa dan AS makin parah, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur masih akan berkembang sebesar 5,4%. Hal ini bisa terjadi karena diversifikasi pasar ekspor kawasan Asia Timur dan meningkatnya permintaan dalam negeri sebagai sumber pendorong pertumbuhan.

Khusus untuk Indonesia, ADB masih memperkirakan perekonomian tumbuh 6,6% pada tahun ini. Namun, ADB menurunkan perkiraaannya untuk Indonesia untuk tahun 2012 menjadi 6,5% dari perkiraan sebelumnya sebesar 6,8%.

Lalu, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi untuk enam negara Asia Tenggara diperkirakan mencapai 5,6% selama tahun 2012-2016. Indonesia memiliki pertumbuhan tertinggi yaitu 6,6%. OECD melihat, ketidakpastian global menjadi peluang untuk menciptakan pertumbuhan. Sifat pertumbuhan di Asia kini berubah, yakni menjadi lebih seimbang.

Menurut OECD, ekonomi Asia Tenggara akan lebih digerakkan oleh ekonomi domestik. Dua mesin pendorong pertumbuhan yaitu investasi berskala besar terkait infrastruktur dan konsumsi pribadi yang digerakkan kelas menengah. Maklum, sebelumnya pertumbuhan sangat tergantung pada permintaan dari luar.

Yang pasti, pemerintah Indonesia harus mawas diri. Ini lantaran dalam kondisi ketidakpastian, sulit jika harus bergantung pada negara lain. Jangan ada suatu negara yang ekspor atau impor terus-menerus, karena akan menimbulkan ketidakseimbangan.

Indonesia saat ini tengah mengalihkan perhatiannya pada pasar dalam negeri. Dengan populasi yang besar dan pertumbuhan dari daya beli masyarakat yang terjaga akan dimanfaatkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi domestik. Negara seperti itu yang akan dapat bertahan di tengah perkembangan global.

Yang pasti, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur yang sedang berkembang akan terus mengalami moderasi memasuki tahun 2012. Hal ini seiring dengan membesarnya masalah utang dalam obligasi mata uang asing (sovereign debt) dari negara-negara Eropa dan lesunya perekonomian di Amerika Serikat yang meningkatkan kekawatiran tentang anjloknya perekonomian global.

Masih dari laporan ADB, disebutkan pula bahwa jika perekonomian di zona euro dan Amerika Serikat berkontraksi secara tajam, dampak terhadap perekonomian Asia Timur yang sedang berkembang akan serius tetapi masih bisa ditangani. Gejolak yang berasal dari Eropa makin membahayakan bagi perdagangan dan keuangan di dalam kawasan Asia Timur yang sedang berkembang. Maka dari itu, para pembuat kebijakan di kawasan tersebut harus siap untuk bertindak cepat, tegas dan bersama-sama untuk menghadapi apa yang bisa menjadi penurunan ekonomi global yang berkepanjangan.
Laporan tengah tahunan ADB mengkaji perekonomian di 10 negara ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Republik Rakyat Demokratik Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Dalam laporannya ADB menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk kawasan pada tahun 2012 menjadi 7,2% dari 7,5% pada bulan September ketika meluncurkan “Asian Development Outlook 2011 Update”. Pertumbuhan tahun ini diperkirakan masih 7,5%.
Meskipun demikian, sistem keuangan kawasan tetap rentan seperti pada waktu tahun 2008. Laporan ADB mencatat bahwa para investor makin ingin menghindari resiko sehingga mereka akan mengurangi kepemilikan mereka atas aset-aset finansial di Asia sedangkan bank-bank di Eropa yang sudah memiliki banyak hutang, akan mengurangi pinjaman sehingga memperketat kondisi kredit.

Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya krisis global yang berkepanjangan dan pemulihan yang lambat setelah krisis, para pembuat kebijakan di Asia bisa menggunakan perangkat finansial, moneter dan fiskal yang tersedia. Termasuk mekanisme yang sudah ada untuk melindungi stabilitas finansial dan menjamin tersedianya kredit secara mencukupi di kawasan regional.

Kebijakan moneter harus tetap fleksibel, sementara koordinasi nilai tukar akan menghindari terjadinya kompetisi untuk melakukan devaluasi. Kawasan ini masih memiliki ruang fiskal yang cukup untuk memberikan stimulus secara bertahap dan hati-hati jika diperlukan dan pada saat yang sama menghindari tekanan yang terlalu besar terhadap anggaran.

Lembaga sejenis ADB, yakni Bank Dunia menyatakan kawasan Asia Timur (negara Asean, China, Hong Kong, Korea) tetap akan tumbuh kuat. Namun pertumbuhan itu akan melandai karena lemahnya permintaan eksternal.

Dalam laporannya mengenai update Ekonomi Asia dan Pasifik, Bank Dunia menyebutkan bahwa di tengah ketidakpastian Eropa dan perlambatan pertumbuhan global, PDB riil Asia Timur akan naik 8,2% pada tahun 2011. Sedangkan tahun depan akan turun menjadi 7,8%. Kontribusi terbesar berasal dari permintaan domestik di negara berpenghasilan menengah.

Menurut Bank Dunia, pertumbuhan rendah di Eropa akibat adanya penghematan fiskal dan kebutuhan bank untuk meningkatkan modal, akan memengaruhi Asia Timur. Penurunan kredit dari bank-bank Eropa juga akan memengaruhi aliran modal ke Asia timur. Namun tingginya cadangan devisa dan surplus neraca berjalan akan melindungi sebagian besar negara-negara di wilayah tersebut dari dampak tekanan keuangan baru yang mungkin terjadi.

Laporan Bank Dunia menyebutkan perlambatan pertumbuhan di wilayah Asia Timur lebih terlihat nyata pada bidang produksi industri. Ekspor dari perusahaan-perusahaan besar yang menjadi bagian dari industri regional, terutama dalam bidang elektronik, telah mengalami penurunan.

Permintaan domestik untuk komoditas dan bahan baku tetap bertahan, sehingga membantu ekonomi-ekonomi kaya sumber daya untuk menjaga tingkat ekspor dan pertumbuhan PDB yang tinggi. Dengan melemahnya permintaan dari negara-negara maju, porsi China dalam impor global telah meningkat, menjadi sumber permintaan global yang semakin penting, pergeseran ke impor barang konsumsi yang lebih tinggi di China juga menguntungan bagi para eksportir manufaktur di wilayah Asia Timur.

Yang jelas, prospek pertumbuhan Asia Timur dihambat oleh ketidakpastian global dan dampak bencana alam, lambatnya kemajuan penyelesaian masalah utang di zona euro dan naiknya kekhawatiran investor terhadap stabilitas dan pertumbuhan global.

Aliran modal akan keluar dari pasar yang baru tumbuh ke sektor yang lebih aman. Hal itu juga menyebabkan investasi portofolio mengalami perubahan arah dan pasar-pasar saham mengalami penurunan nilai di Asia Timur.

Dengan pertumbuhan di atas, Bank Dunia juga memperkirakan 38 juta jiwa di Asia Timur yang berkembang akan bergerak keluar dari kemiskinan pada akhir tahun 2011. Bank Dunia mengkhawatirkan adanya potensi dampak situasi ekonomi global terhadap masyarakat yang lemah. Karena upaya pengentasan kemiskinan dapat terhambat peristiwa-peristiwa seperti lonjokan bahan pangan secara tiba-tiba, bersama-sama dengan perlambatan pertumbuhan pendapatan.

Untuk menjaga daya beli masyarakat tidak jatuh dalam, maka langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang dilakukan pada krisis tahun 2009 silam. Bantuan yang diberikan langsung kepada masyarakat dalam jangka pendek memang akan efektif meningkatkan konsumsi, meskipun dari jangka panjangnya tidak produktif.

Selain itu, pemerintah perlu menjaga inflasi tetap rendah, salah satunya stok pangan dan distribusi. Untuk memperlancar distribusi pemerintah harus memperbaiki sistem logistik nasional. Untuk stok pemerintah bisa impor, tetapi pemerintah harus memperlancar distribusi agar harga juga tidak naik.


Business News