Selasa, 19 Mei 2009

Makin Bermakna Setelah Pensiun

Memasuki masa pensiun, ada dua hal yang paling sering ditakutkan : menurunnya kesehatan dan anjloknya penghasilan. Apa resepnya agar setelah pensiun kualitas hidup tetap meningkat, bahkan bisa menjalani kehidupan yang lebih bermakna?

Mendengar kata “pensiun”, orang umumnya langsung berkonotasi pada sejumlah situasi yang serba tidak enak: pendapatan berkurang drastis; kesehatan menurun; perasaan tidak berguna dan disingkirkan; serta merepotkan orang lain. Wajarlah, orang-orang yang masih aktif bekerja biasanya malas kalau diajak bicara soal masa pensiun. Terlebih bagi para eksekutif dan profesional bisnis seperti Anda, yang sehari-harinya selalu sibuk dan tenggelam dalam pekerjaan. “Ngapain pusing-pusing, nanti toh jalan dengan sendirinya,” begitulah kurang-lebih sikap sebagian besar dari kita.

Sikap seperti itu tampaknya normal-normal saja, tapi sungguh tidak adil. Mengapa? Ketika Tuhan mengizinkan kita pertama kali menghirup udara dunia, orang tua kita menyambut dengan penuh sukacita. Begitu pula ketika sang bayi memasuki dunia anak-anak, lalu masuk sekolah, kuliah, dan akhirnya memasuki dunia kerja. Kita lazimnya menyambut dengan penuh antusias setiap kali memasuki tahapan baru dalam kehidupan kita. Nah, bagaimana kita bisa dibilang adil kalau kita tidak mau menyambut dengan penuh gairah ketika memasuki masa pensiun? Bukankah masa pensiun juga merupakan tahapan penting dalam perjalanan hidup kita?

Betapapun tidak adilnya sikap tersebut, tapi itu sangat manusiawi. Manusia memang paling tidak suka (sering kali bahkan takut) kalau dihadapkan pada ambiguitas atau ketidakpastian hidup. Dan masa pensiun, seperti dikemukakan di atas, selalu dikaitkan dengan ketidakpastian yang mengarah pada situasi yang serba negatif. Itu sebabnya, sejak lama para psikolog pun tertarik mengungkap kehidupan orang-orang yang memasuki masa pensiun.
Salah satu studi yang terkenal dilakukan oleh G.F. Streib dan C.J. Schneider, yang dituangkan dalam buku Retirement in American Society: Impact and Process. Secara khusus, kedua psikolog ini memulai studi dengan fokus meneliti sekelompok responden yang terdiri dari para profesional yang bekerja dengan penuh semangat dan produktif. Studi dilanjutkan dengan terus mengamati perkembangan kelompok responden itu selama masih bekerja, hingga akhirnya mereka pensiun – beberapa orang dari mereka memang ada yang bekerja kembali setelah pensiun.
Secara umum, temuan atas studi tersebut cukup positif. Yakni, kesehatan responden tidak menurun setelah pensiun, begitu pula kepuasan mereka terhadap hidup. Gambaran terhadap diri sendiri (self-image) tidak berubah secara drastis, demikian pula para pensiunan ini tidak merasa tiba-tiba menjadi tua dan tak berguna. Sementara penghasilan yang menurun secara tajam, sebagian besar orang-orang pensiun dalam studi ini ternyata telah siap menghadapi kenyataan, karena itu mereka tidak terlalu khawatir menghadapi masalah keuangan.
Temuan tersebut menunjukkan pentingnya seseorang jauh-jauh hari mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi masa pensiun. Dari penelitiannya, kedua psikolog tersebut juga menemukan bahwa para profesional yang sejak dini mempersiapkan dengan baik masa pensiunnya cenderung lebih tenang dan percaya diri ketika memasuki masa pensiun. Juga disimpulkan bahwa kesehatan yang baik dan penghasilan yang memadai merupakan modal penting untuk penyesuaian diri yang baik ketika seseorang memasuki masa pensiun.
Dengan melakukan perencanaan pensiun yang lebih baik dan secara dini, setidaknya kita memiliki harapan yang lebih besar untuk menjalani kehidupan yang lebih berkualitas, meski secara usia mungkin terus menurun produktivitasnya. Untuk itu, idealnya sejak dini kita perlu menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin kita capai ketika memasuki masa pensiun. Misalnya: harus punya tabungan berapa; rumah seperti apa; anak sudah menjadi apa (masih kuliah sehingga tetap butuh dana pendidikan, ataukah sudah bekerja). Semua ini perlu direncanakan, sebab faktanya banyak pensiunan eksekutif – karena merasa dibutuhkan – masih saja bekerja, bahkan lebih keras lagi. Padahal, ini berbahaya kalau kondisi fisik dan mentalnya tidak mendukung. Intinya, janganlah ngoyo mencari duit terus setelah pensiun.
Selain hal-hal yang bersifat fisik dan materi tersebut, perlu juga direncanakan kira-kira kegiatan apa saja yang hendak diterjuni sesudah pensiun. Perlu direncanakan, misalnya, kegiatan sosial atau spiritual seperti apa yang sekiranya cocok dengan kemampuan, kepribadian, serta passion kita.
Lebih penting lagi, manakala usia terus merambat, idealnya kita semakin arif menerima apa pun yang pernah kita jalani dalam hidup ini, tanpa penyesalan yang berlebihan atas segala kesalahan dan kekurangan yang pernah kita perbuat. Kalau tak mampu melakukan ini, bukan mustahil kita akan tenggelam dalam kekecewaan yang panjang, karena waktu kita semakin tak mencukupi lagi untuk memulai kehidupan yang lain.
Sebagai manusia biasa, kita memang berhak untuk kecewa. Malah, ketika kehidupan Anda berjalan begitu mulus dan indahnya, tetapi di kehidupan lain yang mungkin cuma beberapa jengkal dari Anda ternyata masih terdapat begitu banyak orang yang dieksploitasi dan dicampakkan, tidakkah kondisi ini juga sering membuat Anda kecewa? Maka, alangkah mulianya jika di titik-titik akhir perjalanan hidup kita, energi dan pikiran kita curahkan ke sana. Artinya, sebelum terlambat, cobalah menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Bukan jadi binatang ekonomi melulu.


Oleh : Harmanto Edy Djatmiko