Kamis, 28 Mei 2009

Mengukur Janji Pertumbuhan Ekonomi

Isu ekonomi merupakan isu yang paling hangat disuarakan oleh para calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilihan Umum 2009. Para pasangan calon berlomba menebar janji pertumbuhan ekonomi tinggi dengan harapan mampu menyihir para pemilih pada pemilihan presiden Juli 2009. Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mengusung ekonomi kemandirian dengan janji pertumbuhan 8-9 persen, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mengusung ekonomi konvensional dengan target pertumbuhan 7 persen, sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto mengusung ekonomi kerakyatan dengan janji pertumbuhan 10 persen (Vivanews, 18 Mei 2009).

Kita sebagai warga negara sudah seharusnya tidak kehilangan daya kritik melihat janji-janji tersebut. Apakah janji-janji tersebut masuk akal atau janji sekadar janji yang tidak pernah bisa ditepati. Angka-angka pertumbuhan patut dikritik secara teoretis dan pembuktian empiris berdasar pengalaman Indonesia.

Literatur ekonomi menunjukkan sumber pertumbuhan ekonomi terbagi menjadi tiga komponen utama, yaitu pertumbuhan barang modal, pertumbuhan tenaga kerja/tenaga kerja terdidik, dan pertumbuhan produktivitas (Solow, 1957, dan Abramovitz, 1956). Penelitian empiris mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia kurun waktu 1880-2007 menunjukkan rata-rata pertumbuhan barang modal 4,3 persen per tahun, pertumbuhan tenaga kerja terdidik 2,3 persen per tahun, dan pertumbuhan produktivitas (total factor productivity) 0,3 persen per tahun (Van der Eng, 2008). Jika kontribusi modal dan tenaga kerja dalam perekonomian masing-masing 25 persen dan 75 persen, untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi 10 persen per tahun dibutuhkan pertumbuhan barang modal sebesar 20 persen per tahun, pertumbuhan tenaga kerja terdidik sebesar 4 persen per tahun, dan pertumbuhan produktivitas sebesar 2 persen per tahun (2+(0,25 x 20)+(1-25) x 4 = 10).

Meningkatkan pertumbuhan tenaga terdidik sebesar 4 persen dan produktivitas sebesar 2 persen bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan secara instan. Sedangkan untuk meningkatkan akumulasi modal sebesar 20 persen bukanlah perkara mudah di tengah krisis ekonomi global saat ini. Tanpa adanya krisis ekonomi global sekalipun pertumbuhan barang modal sebesar 20 persen per tahun sangat mustahil untuk diraih. Data Bank Indonesia kurun waktu 2000-2008 menunjukkan rata-rata pertumbuhan barang modal sekitar 7,1 persen per tahun.

Kondisi ini diperparah oleh penurunan perekonomian negara-negara mitra dagang utama Indonesia pada 2009. Berdasarkan prediksi Dana Moneter Internasional (IMF), negara-negara yang tergabung dalam OECD, seperti Jepang, akan mengalami kontraksi 6,19 persen, Amerika turun 2,75 persen, Australia turun 1,5 persen, Jerman turun 5,6 persen, Singapura turun 9,99 persen, dan Korea turun 4.01 persen (IMF, 2009). Penurunan perekonomian negara mitra dagang akan mengakibatkan penurunan ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut. Hal ini semakin menekan pertumbuhan ekonomi nasional.

Strategi mengejar pertumbuhan


Apa pun jargon ekonomi yang diusung oleh para calon presiden, terdapat dua strategi utama untuk mencapai janji pertumbuhan ekonomi di atas. Pertama, optimalisasi peranan pasar domestik untuk menggerakkan perekonomian nasional untuk menggantikan penurunan kegiatan ekspor. Indonesia dengan jumlah penduduk besar merupakan potensi pasar yang cukup menjanjikan. Sayangnya, potensi ini tidak dibarengi dengan kemampuan daya beli yang memadai, sehingga daya dukung pasar domestik untuk menggerakkan perekonomian nasional memiliki keterbatasan.

Kedua, meningkatkan investasi, karena tanpa adanya investasi barang modal, pertumbuhan ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Cara mudah tapi belum tentu efektif untuk meningkatkan investasi adalah dengan menurunkan suku bunga. Cara ini merupakan resep generik Keynes yang sangat menarik dari sisi teori tapi belum tentu berjalan di dunia nyata, karena permasalahan investasi di Indonesia tidak sesederhana gambaran teori Keynes. Terdapat berbagai permasalahan yang menghambat investasi di Indonesia, seperti ketidakmerataan infrastruktur, informasi yang tidak sempurna, permasalahan birokrasi, permasalahan kolateral bagi usaha kecil dan menengah, akses terhadap pasar modal/kredit, serta penegakan hukum. Permasalahan tersebut lebih mendesak untuk dibenahi dibanding hanya sekadar menurunkan suku bunga.

Penurunan suku bunga hanya akan menguntungkan pengusaha kelas atas yang memiliki akses terhadap pasar modal dan memiliki jaminan/agunan, sedangkan kalangan usaha kecil dan menengah tidak akan banyak tertolong dengan kebijakan penurunan suku bunga, karena permasalahan akses di pasar modal dan permasalahan agunan. Pada jangka pendek, penurunan suku bunga tidak banyak berpengaruh terhadap investasi karena penurunan suku bunga oleh bank sentral belum tentu diikuti penurunan suku bunga kredit oleh bank-bank komersial.

Di sisi lain, penurunan suku bunga akan mendorong mendorong peningkatan kredit konsumsi. Jika konsumsi tersebut dibelanjakan untuk barang-barang produksi dalam negeri atau dibelanjakan di pasar-pasar tradisional, peningkatan konsumsi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi, melihat karakteristik konsumsi masyarakat Indonesia, kredit konsumsi bisa dipastikan untuk belanja barang, seperti mobil, sepeda motor, barang elektronik, peralatan komunikasi, dan barang-barang yang dibuat dengan teknologi tinggi, sehingga tidak banyak memberikan efek pengganda bagi perekonomian nasional.

Apa pun jargon ekonomi yang diusung, presiden terpilih sulit untuk menepati janji-janji pertumbuhan ekonomi di atas. Alangkah baiknya para pasangan calon presiden tidak menebar janji-janji surga dan saling serang mengenai jargon ekonomi. Ekonomi kerakyatan, ekonomi neoliberal, ekonomi kemandirian, dan ekonomi Pancasila merupakan jargon-jargon ekonomi konsumsi para politikus. Rakyat bawah sudah pusing dengan permasalahan hidup sehari-hari. Jangan menambah beban pikiran rakyat dengan istilah-istilah baru yang merupakan olah kata miskin makna.


Teguh Dartanto, Peneliti LPEM FEUI, sedang belajar di Universitas Nagoya, Jepang