Rabu, 20 Mei 2009

Kallanomics, Boedionomics, Prabowonomics

Adu konsep dan program ekonomi tampaknya akan sangat mewarnai Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Alasannya sederhana. Konteks kontestasi pilpres saat ini adalah krisis ekonomi global yang imbasnya di Indonesia telah menjadi menu pembicaraan sehari- hari.

Misalnya saja penurunan investasi,penurunan ekspor,demikian juga kekhawatiran terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK),serta meningkatnya angka kredit macet perbankan. Faktor lain adalah persepsi masyarakat luas bahwa titik lemah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah pencapaian dalam bidang ekonomi.

Meski Badan Pusat Statistik (BPS) berkali-kali menyatakan angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun dalam beberapa tahun terakhir ini, berbagai kalangan tetap meragukan kebenaran laporan tersebut dan menilainya tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat. Dipilihnya Boediono sebagai calon wakil presiden (cawapres) oleh SBY menunjukkan betapa penanganan masalah ekonomi mendapat perhatian khusus.

Munculnya Jusuf Kalla sebagai calon presiden (capres) -meski merupakan konsekuensi logis dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar- sedikit banyak mengandaikan adanya kalkulasi pemilih yang menempatkan persoalan ekonomi sebagai agenda prioritas.

Kehadiran Prabowo sebagai cawapres mendampingi Megawati Soekarnoputri, selain dimungkinkan karena kesamaan platform, sesungguhnya menyiratkan bahwa Megawati telah siap dengan program baru bidang ekonomi yangberbedadariapayangdulupernah dikerjakannya. Lalu apa yang akan membedakan program ekonomi Kalla (Kallanomics), Boediono (Boedionomics), dan Prabowo (Prabowonomics)?

Hampir dapat dipastikan, siapa pun yang akan terpilih nanti, satu di antara mereka akan menentukan pilihan dan prioritas program ekonomi lima tahun ke depan. Kallanomics dan Boedionomics lebih mudah untuk dinilai karena sudah kita lihat penerapannya.

Dalam berbagai versi penyederhanaan, Boedionomics dianggap metamorfosis dari paham neoliberalisme yang menekankan prinsip-prinsip pasar bebas, privatisasi, dan campur tangan minimal dari negara. Boediono dianggap melanjutkan kebijakan ekonomi dari kelompok ekonom "Mafia Berkeley" yang dulu dimotori Widjojo Nitisastro.

Sementara Jusuf Kalla dinilai memimpin kalangan strukturalis yang lebih menekankan nasionalisme ekonomi dan pertumbuhan borjuasi nasional. Kalla tidak segan-segan menyodorkan tuntutan agar pengusaha nasional dilibatkan dalam berbagai proyek pembangunan atau mengimbau penggunaan produk dalam negeri secara masif. Sering digambarkan oleh media massa, Kalla lebih eksplosif, agresif, dan ingin serbacepat.

Adapun Boediono dinilai lebih hatihati, cermat,dan penuh perhitungan sehingga terkesan lamban. Ibarat mobil,Kalla mirip pedal gas,sedangkan Boediono bagai pedal rem. Boedionomics juga dinilai lebih permisif dalam berutang. Untuk sebagian mungkin ini menjelaskan mengapa utang pemerintah dalam koordinasi Boediono meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini.

Dalam soal ini, Kallanomics mungkin lebih hatihati karena sebagai tokoh yang berlatar belakang pengusaha, Kalla lebih tahu cara-cara memperoleh utang dengan beban bunga yang lebih rendah. Tentu Boedionomics dan Kallanomics tidak sesederhana ulasan di atas. Dalam pidato deklarasinya, secara tegas Boediono menyatakan, ekonomi tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Negara harus dan akan tetap berperan dalam porsi yang pas.

Diakuinya, peran negara yang terlalu besar memang akan menekan kreativitas masyarakat. Pandangan ini berkali- kali disampaikan Boediono dalam berbagai forum ilmiah sejak awal 1980-an. Sebaliknya, Kallanomics juga tidak identik dengan ketergesagesaan atau dalam istilah Amien Rais "Kalaponomics".

Kallanomics memang cenderung lebih agresif (entrepreneurial) dalam memanfaatkan peluang baru dan terasa lebih berani dalam menghadapi risiko. Tanpa keberanian menghadapi risiko, kita akan berjalan di tempat. Bagaimana dengan Prabowonomics?

Dari program-program ekonomi yang ditawarkan dalam kampanye yang lalu, Prabowonomics terasa lebih ?radikal? dalam arti menggunakan pendekatan ekonomi baru yang berbeda dari arus besar (mainstream) strategi dan kebijakan ekonomi selama ini. Bahkan di mata Prabowo, sistem ekonomi kita telah gagal menciptakan kemakmuran dan keadilan.

Bila Kallanomics dan Boedionomics secara umum masih bisa dimasukkan dalam kategori Keynesian Economics (ekonomi kapitalisme dengan koreksi dari negara), Prabowonomics lebih menonjolkan unsur-unsur positif dari sistem ekonomi sosialisme. Katakata kunci dari Prabowonomics akan di sekitar kemandirian ekonomi, moratorium utang, penguasaan aset strategis oleh negara, redistribusi aset, dan sejenisnya.

Kisah sukses sejumlah negara industri baru (China,India, dan sejumlah negara Amerika Latin) ikut mengilhami kebangkitan neososialisme. Prabowonomics menjanjikan harapan baru, eksperimen baru, pengalaman baru, dan?? untuk derajat tertentu?? risiko baru. Dikotomi ?ekonomi liberal vs ekonomi kerakyatan", betapapun sederhana, tampaknya berusaha menangkap perbedaan tekanan Prabowonomics dengan perspektif pemikiran yang lain.

Janji perubahan,dari siapa pun dan kebijakan apa pun,akan selalu melahirkan kegelisahan. Di sinilah kearifan memiliki arti dan peranan penting. Pilihan kebijakan ekonomi tetap harus menghadirkan transisi yang stabil dan memberi kepastian kepada masyarakat bahwa harapan baru memang ada di ujung terowongan.


PROF. HENDRAWAN SUPRATIKNO PH. D
Guru Besar FE UKSW, Salatiga.