Jumat, 15 Mei 2009

Menimbang Untung Rugi Pooling Fund

Ketika likuiditas perbankan nasional tampak mengering, muncullah wacana untuk membentuk konsorsium pendanaan perbankan (pooling fund).

Kini Bank Indonesia (BI) sudah memberi sinyal persetujuan pooling funddengan menggunakan giro wajib minimum (GWM).

Apa manfaat dan bagaimana pooling funditu nantinya? Ada baiknya kita mengetahui dulu apa itu GWM (reserve requirement/ RR). GWM adalah dana yang dipelihara bank nasional di BI. GWM merupakan alat kebijakan moneter yang memengaruhi ekonomi, pinjaman, dan suku bunga suatu negara.

GWM memengaruhi pasokan uang beredar (money supply). Saat ini BI mematok bank nasional untuk memelihara GWM minimal sebesar 5 persen. Artinya, kian rendah GWM, kian tinggi uang beredar. Sebaliknya,kian tinggi GWM, kian rendah uang beredar. Penetapan besaran GWM merupakan salah satu strategi BI dalam mengawal laju inflasi agar tidak bergerak liar.

Selama ini GWM sering diotakatik sebagai tumpuan tingkat likuiditas bank nasional.Tengok saja, efektif 31 Agustus 2005, GWM minimal 5 persen dikaitkan dengan loan to deposit ratio (LDR). Bank dengan LDR di atas 90 persen, 75-90 persen, 60-75 persen masing-masing wajib menambah GWM 0 persen, 1 persen, dan 2 persen.

Bank dengan LDR di atas 50-60 persen, 40-50 persen, dan di bawah 40 persen diwajibkan menambah GWM masing-masing 3 persen, 4 persen, dan 5 persen. Lantas pada September 2008, tersiar kabar BI akan mengubah komposisi GWM yang dikaitkan dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat utang negara (SUN).

Kini BI juga menyetujui pooling funddengan menggunakan GWM. Lalu, apa itu pooling fund? Pooling fund adalah konsorsium pendanaan oleh perbankan nasional. Pooling fund akan sangat bermanfaat, terutama bagi bank papan bawah yang pada umumnya memiliki modal terbatas.

Bankbank kecil ini sering mengalami kesulitan untuk memperoleh pinjaman di pasar uang antarbank (PUAB). Mengapa? Karena umumnya bank besar kurang percaya kepada bank kecil. Saat ini sebagian bank nasional masih menghadapi risiko likuiditas. Sementara itu, tingkat likuiditas menjadi salah satu tolok ukur kesehatan bank.Kondisi ini menjadi memprihatinkan ketika sebagian bank nasional yang memiliki kelebihan likuiditas sangat berhati-hati meminjamkan dana melalui PUAB.

Dengan bahasa sederhana, bank besar enggan menambah credit line (CL) kepada bank bermodal kecil. CL adalah suatu persetujuan atau perjanjian oleh bank kepada suatu perusahaan untuk boleh meminjam kapan saja pada jumlah tertentu. Dengan bahasa manajemen risiko, CL merupakan batas risiko yang diambil oleh suatu bank untuk melakukan transaksi dengan bank lain. CL pada umumnya meliputi money market line untuk meng-cover transaksi seperti placement/ borrowing, surat berharga, foreign exchange line (spot, forward, swap),dan commercial line (ekspor, impor, bank garansi).

Nah, pinjaman dana dari PUAB di-cover dengan money market line. CL berbentuk alokasi dana (biasanya dalam dolar AS). Misalnya, CL sebesar USD10 juta, itu artinya bank A memberikan CL sebesar USD10 juta kepada bank B.

CL itu bermanfaat untuk mengukur sejauh mana risiko yang dapat diserap bank A dalam bertransaksi dengan bank B.Kalau bank A tidak memberikan pinjaman lagi kepada bank B, itu bermakna batas CL itu sudah terlewati.Penambahan CL tergantung pada bank A, apakah dia tetap percaya kepada bank B.

Nah, yang terjadi belakangan ini, bank A (bank besar) kelihatan kurang menaruh kepercayaan lagi kepada bank B (bank kecil). Ini yang membuat bank kecil pontang-panting sehingga pooling fund menjadi opsi yang sangat menarik. Menilik kegunaannya, pooling fundlayak dibentuk.

Namun, untuk itu ada beberapa hal yang kiranya perlu dipertimbangkan sebelum pembentukannya. Pertama, penentuan siapa berhak meminjam dari pooling fund dan apa syaratnya? BI sudah mengisyaratkan bahwa hanya bank yang tidak bisa memperoleh pinjaman dari PUAB dapat mengakses pooling fund. Selain itu, bank peminjam wajib memiliki surat berharga sebagai jaminan.

Kedua, berapa persen yang akan dipakai untuk pooling fund? Mungkin bisa dipertimbangkan sekitar 1-2 persen dari GWM minimal 5 persen yang disusun berjenjang atas dasar tingkat likuiditas bank yang tecermin pada kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR).

Kian tinggi CAR,kian tinggi persentase GMW yang dapat dipakai. Jangan dipukul rata. Ini juga makin menegaskan betapa pentingnya modal bagi bank. Ketiga, berapa suku bunganya? Mestinya persis sama dengan PUAB.Mengapa? Karena sejatinya pooling fund merupakan saudara kembar PUAB. Keempat, siapa pengelolanya? Dari tiga opsi yang ada, yakni BI, lembaga penjamin simpanan (LPS),dan bank,sudah tentu bank sentral yang menjadi opsi paling tepat.

Sebab, BI sudah memiliki banyak pengalaman dan akses ke semua bank nasional dalam melirik tingkat kesehatan bank. Selain itu,BI pun dianggap netral di mata bank-bank nasional. Kelima, perlukah pemanis? Rasanya pemanis dapat dipertimbangkan bagi bank yang dengan suka rela menambah persentase GWM untuk pooling fund, yakni bank-bank papan atas yang bermodal kuat. Sebab, bagaimanapun tetap diperlukan prinsip winwin solution agar tercipta iklim saling percaya antarbank nasional. (*)


Paul Sutaryono