Rabu, 13 Mei 2009

Pemulihan Ekonomi Indonesia

Suatu siang, pekan lalu, saya diundang makan oleh teman di Restoran Grand Cafe,Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Ketika saya datang, sekitar pukul 12.30 WIB, restoran sudah agak penuh.

Hanya tersisa dua meja.Tidak lama kemudian, sisa meja itu pun terisi tamu lain. Pelanggan di restoran itu umumnya memilih buffet,dengan pilihan makanan lumayan banyak,mulai dari soto betawi, peking duck sampai kolak untuk penyegar mulut, selain makanan Jepang (sashimi), makanan Italia,dan sebagainya.

Selama makan, sambil berbincang dengan tuan rumah yang mengundang, saya juga memperhatikan tamu yang terus mengalir. Tampaknya restoran tersebut juga dipadati "gelombang kedua" yang segera mengisi meja-meja yang sudah kosong.Ini berarti tingkat okupansi restoran itu lebih dari 100%. Karena tertarik melihat pemandangan ini, saya mencoba berbicara dengan seorang waiter di restoran tersebut.

Jawabannya ternyata sangat menarik. Restoran itu ternyata tidak pernah sepi dalam beberapa bulan terakhir ini. Dia bercerita, restoran tersebut hanya sekali sepi, yaitu pada saat pemilu lalu. Selebihnya selalu padat, seperti yang saya saksikan hari itu. Sudah barang tentu, pembicaraan itu tidak bisa menggantikan data pembukuan jumlah tamu yang sebenarnya.

Namun gambaran yang dia utarakan memberikan kesimpulan bahwa tingkat okupansi restoran itu senantiasa tinggi. Bahkan bisa dikatakan tidak terkena dampak krisis apa pun. Hal ini sangatlah berbeda dengan semasa krisis 1997 lalu ketika restoran dan hotel sungguh-sungguh merasakan dampak krisis yang luar biasa.

Pada waktu itu bahkan berbagai upaya dilakukan untuk menarik lebih banyak tamu,antara lain dengan membedakan tarif tamu mancanegara dengan warga Indonesia maupun pemegang KIMS. Dengan melihat perkembangan ini,tidaklah terlalu mengherankan untuk melihat perkembangan berbagai perusahaan emiten melalui laporan keuangan kuartal I/2009 lalu.

Bayangkan, di tengah keadaan yang orang sering mengatakan sebagai krisis, Unilever masih mampu membukukan pertumbuhan penjualan 18,4%.Perkembangan semacam ini juga dialami perusahaan lain maupun bank-bank yang umumnya masih membukukan pertumbuhan positif. Sebuah bank komersial bahkan membukukan pertumbuhan laba lebih dari 40%.

Ini berbeda dengan bank-bank di luar negeri yang harus merasakan penurunan laba yang luar biasa. Bahkan secara kasatmata, dalam beberapa penerbangan domestik yang saya lakukan beberapa bulan terakhir, kita juga melihat kelas bisnis dari Garuda tetap dipadati penumpang.

Sebagai catatan, kelas bisnis sebagian besar pesawat Garuda terdiri atas 16 kursi, jumlah yang lebih banyak dibandingkan penerbangan Malaysian Airlines atau bahkan berbagai penerbangan di China yang untuk pesawat Boeing 737 (atau Boeing 757 yang jauh lebih panjang) memiliki konfigurasi kelas bisnis dengan 8 kursi saja, sedangkan selebihnya kelas ekonomi.

Apa yang saya saksikan ini pada akhirnya mengingatkan saya pada pernyataan Chief Economist dari kantor pusat Standard Chartered Bank London, yaitu Dr Gerard Lyons,dalam pertemuan di Bali, di sela-sela pertemuan tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB) baru-baru ini. Dia menyatakan, Indonesia akan mengalami pemulihan ekonomi kedua tercepat setelah China.

Perkembangan ini menarik setelah berbagai pihak menyatakan, negara yang akan mengalami pemulihan paling cepat dari krisis global adalah China,disusul India. Pernyataan tersebut dia pertahankan meskipun seorang tamu dari India mencoba mengklarifikasikan hal itu. Pernyataan tersebut pada akhirnya semacam mengonfirmasi apa yang terjadi di pasar modal dan pasar valuta asing beberapa hari terakhir ini.

Setelah terpuruk sekian lama, pada saat penulisan artikel ini, Kamis (7/5), indeks harga saham gabungan ditutup pada level 1.828 setelah pada pagi harinya sempat mencapai 1.840. Nilai tukar rupiah juga menembus Rp10.400 dan bertengger pada angka Rp10.360 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan pasar sore harinya.

Perkembangan ini merupakan angin sejuk yang dapat kita rasakan setelah lama kita merasakan kepengapan menghadapi perkembangan kedua pasar tersebut. Perkembangan pasar tersebut sejalan pula dengan optimisme Mark Mobius dari Templeton Fund Management (yang dianggap guru oleh para investor asing untuk pasar negara berkembang) maupun Robert Parker yang merupakan Wakil Presiden Credit Suisse dalam seminar di Bali selama perhelatan sidang tahunan ADB tersebut.

Kedua pembicara menyatakan sangat bullish dengan apa yang terjadi di negara-negara berkembang (meskipun yang sering disebut lebih banyak China dan India) sehingga memperkirakan tumpukan uang yang ada (a wall of cash) pasti akan diinvestasikan di negara-negara berkembang dalam bulan-bulan mendatang. Ternyata perkembangan tersebut terjadi pula pada obligasi pemerintah kita.

Jika semula surat berharga yang likuid adalah yang berjangka waktu sampai dengan lima tahun, tidak lama kemudian surat berharga yang berjangka waktu sampai 10 tahun pun banyak diminta. Pada beberapa hari terakhir bahkan surat berharga yang berjangka waktu lebih dari 10 tahun, yang selama ini sangat jarang diperdagangkan (tidak likuid), mulai banyak pula diminta.

Perkembangan ini sekali lagi mencerminkan pandangan para investor mengenai peluang investasi yang mereka lihat di Indonesia. Sudah barang tentu kita juga tetap harus waspada untuk menghadapi arus balik yang tetap saja masih mungkin terjadi, paling tidak dalam bentuk profit taking. Dengan melihat hal tersebut, apa yang harus kita perhatikan pada bulan-bulan yang akan datang ini ? Pertama, selama ?krisis? beberapa bulan terakhir ini, kita merasakan desakan pada infrastruktur tentu agak sedikit mengendur.

Namun jika pemulihan nantinya terjadi secara cepat, kebutuhan baru terhadap infrastruktur pasti akan datang dengan cepat. Ini berarti program percepatan pembangunan infrastruktur memang tidak boleh kendur sama sekali.Pembangunan pembangkit listrik batch pertama sebesar 10.000 MW harus segera diikuti dengan batchyang kedua.

Demikian juga pembangunan jalan tol.Pemerintah jangan sampai kendur dalam upaya pembebasan tanah.Para investor pasti akan terengah-engah mengejar jadwal konstruksinya jika pemerintah pusat dan daerah tidak juga segera menyelesaikan program pengadaan tanah. Kedua, program pembangunan infrastruktur di daerah produsen juga harus segera dilakukan.

Upaya pembangunan infrastruktur di selatan Jawa dan Kalimantan,yang beberapa waktu terakhir ini memperoleh perhatian, juga tetap secara kontinu dipertahankan tingkat kecepatannya. Ketiga, perbankan tentu sudah memiliki kepekaan untuk penyaluran kredit yang lebih cepat dengan melihat perkembangan ini. Jika tidak, bukan tidak mungkin kebutuhan kapasitas yang tidak terpenuhi pada akhirnya akan menyulut kembali inflasi.


Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
Pengamat Ekonomi