Senin, 18 Mei 2009

See And Do

Tanpa terasa, hari ini kita sudah berada di bulan Mei. Artinya, kita sudah hampir memasuki paruh kedua 2009. Namun, entah mengapa masih banyak pelaku usaha dan profesional yang berkata, "Kita wait and see saja dulu." Kalau terus-terusan terjangkit pikiran "wait and see", dijamin usaha mereka hanya akan tinggal menjadi sejarah.

Psikologi Wait and See

Kita tengok sebentar situasi yang terjadi enam bulan lalu,tepatnya November 2008. Saat itu semua pengusaha yang sedang berada di jalur cepat tiba-tiba menarik nafas, menurunkan kecepatan kendaraannya, seperti tengah melewati tikungan maut di daerah puncak.

Jalan yang dilewati terus-menerus menanjak, tiba-tiba kini kendaraan melewati jurang maut, yang kalau tidak berhati-hati akan membuat kita terperosok. Saat itu, sangkakala krisis yang ditiup di Benua Amerika mulai terlihat jelas dan terdengar nyaring di sini. Krisis yang dialami Lehman Brothers baru saja menelan banyak korban, termasuk investor-investor Asia. Perusahaan-perusahaan keuangan Amerika Serikat kolaps satu per satu dan mulai menyeret sektor riil.

Ekspor dari Asia pun turut terganggu. Semua usahawan di sini berjajar teratur dalam antrean jalan macet di daerah yang berbahaya itu. Tidak ada bunyi klakson dari bus-bus besar di belakang, karena semua tahu, medan yang dihadapi ini berbahaya. Kabutnya sangat tebal, hujan dan badai deras menjatuhi bumi. Semua orang antre dalam barisan, wait and see. Orang-orang yang saya temui itu mengatakan, "Kita lihat dulu perkembangan ini dua-tiga bulan ke depan."

"Sekarang kita istirahatkan dulu pasukan. Masa depan belum jelas." Mengapa mereka memilih wait and see? Jelas, mereka menghindar dari risiko. Kalau semua orang bilang jalan di depan berbahaya, maka mengapa tidak berhati-hati? Tetapi tanpa disadari waktu telah berlalu sekian lama dan mereka telah keasyikan bengong, wait and see. Tidak bergerak, jalan di tempat seperti orang yang sedang hilang ingatan. Apa yang mereka ucapkan itu kini menjadi kenyataan.

Gedung-gedung, apartemen, mal dan rumah-rumah susun yang sedang ramai-ramainya dikerjakan tiba-tiba dihentikan. Kiriman barang ditahan. Pembayaran ditunda, kendati pasar masih merengekrengek meminta barang. Semua orang akhirnya maklum, ini kan namanya krisis. Proyek sedang susah,orang-orang tak punya uang untuk berbelanja. Yang mereka tidak sadari, pasar mereka kini mulai dikuasai pemain-pemain baru, yaitu mereka yang bergerak lebih cepat.

Melihat dengan Mata

Namun, percuma saja memberi nasihat saat krisis tidak terjadi separah seperti yang diduga di sini. Semua orang hanya percaya pada pikirannya, bukan apa yang mereka lihat. Filosof Claudius lebih sinis lagi. Dia pernah menyatakan "Melihat dengan mata, tapi percaya melalui telinga." Orang-orang hanyut dengan pikirannya, tidak bisa melihat apa yang tampak jelas dengan kasatmata.

Jalan indah yang mereka lalui kini mulai terlihat jelas. Pematang-pematang sawah nan hijau ada di kanan-kiri jalan.Daya beli konsumen kita ternyata tetap kuat. Jalanan pun tetap macet. Truk-truk pengangkut logistik sungguh mengganggu perjalanan Anda di jalan tol. Kalau krisis mengakibatkan resesi, mal-mal pasti sudah kosong, restoran sepi pengunjung, tempat rekreasi di puncak kosong, pesawat terbang dikurangi jadwalnya, pesta-pesta pernikahan disederhanakan atau cukup dibuat di rumah untuk kerabat terbatas.

Rakyat kembali makan singkong, gaplek, atau eceng gondok, yang diolah.Demo besar menuntut ketersediaan pangan dan pekerjaan akan marak di mana-mana. Hal yang terjadi sungguh terbalik. Kita justru kesulitan memesan kamar di luar kota saat merencanakan perjalanan karena semuanya fully booked. Mereka yang mau menikah pun kesulitan mencari tempat pesta. Semuanya sudah kembali bekerja. Tetapi pikiran kita masih menyatakan sebaliknya, "krisis belum berakhir," atau bahkan "yang lebih parah dari yang ini belum sampai di sini. Tunggu saja sebentar lagi." Dan mereka meneruskan, "Jadi kita masih wait and see saja.? Namun gambaran ini tentu bukanlah sebuah potret yang lengkap.

Fakta bahwa kaum muda sangat sulit mencari pekerjaan, ribuan bisnis mengalami kebangkrutan karena salah urus, dan masih banyak orang miskin sulit mendapatkan pendidikan, kesehatan dan gizi yang layak merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari gambar ekonomi Indonesia. Pepatah China kuno menyatakan, bukanlah kaki yang menggerakkan jalan kita, melainkan pikiran.

Benar, pikiran kita sungguh sebuah mesin yang sangat powerful, tetapi juga bisa menjadi sangat berbahaya bila ia salah digunakan. Ia bisa memberi perintah bergerak, tapi juga bisa menghambat dan menyuruh kita berhenti. Supaya langkah kaki bisa bergerak, saya tidak akan bosan-bosan mengingatkan Anda, berikan terapi bagi pikiran semua orang yang bekerja untuk Anda.Bukalah mata orang-orang Anda agar mereka sadar bahwa mereka berada di tengah-tengah perubahan, menjelajahi setiap sudut usaha Anda.

Beradalah di tengah-tengah anak buah, vendor, dan konsumen Anda. Kelilinglah dan sapalah mereka. Ucapkanlah kata-kata positif dan dengarkan semua harapan mereka. Membuka mata berarti melihat dari sudut-sudut yang berbeda dan mulai mencari solusi-solusi baru. Maka pengalaman Anda dalam dunia bisnis pun mendatangkan ujian. Akankah pengalaman itu membuka pikiran-pikiran baru atau ia justru membelenggu Anda? Orang-orang tua punya pengalaman, tetapi kaum muda punya kreativitas.

Yang tua punya intuisi kuat untuk menembus gelombang, tetapi yang muda bisa mengejutkan karena mereka berpikir out of the box. Sekarang tinggal meretas berbagai keyakinan.Yang perlu diwaspadai adalah masuknya kaum muda yang tidak kreatif dan tidak punya pengalaman. Mereka dibelenggu atasan-atasan yang bermental lama, berjiwa konservatif, yang tidak suka dengan tantangan. Inilah persoalan sebagian besar perusahaan-perusahaan kita.

It's Time to Act

Akhirnya saya ingin mengajak semua aktor "wait and see" mengubah pola berusaha menjadi "see and do". Nasihat ini banyak saya dengar dari para usahawan, mulai dari pengusaha jamu, kopi, sampai automotif. Jangan menunggu baru melihat, tetapi lihatlah dulu dengan penuh keberanian dan segera merespons.

Teman saya, Pranoto dari Excelso, mengatakan setiap sore dia duduk bersama anak buah dan konsumennya di kedai-kedai kopi. "Saya selalu mengatakan pada mereka, bukan saya yang menggaji kalian, melainkan pelanggan," ucap Pranoto kepada para anak buahnya. Krisis sudah pasti ada, meski samar-samar, setidaknya ada di mulut kita semua.

Tetapi kalau mau terhindar, lawanlah dengan berpikir terbalik sehingga seakanakan tidak ada krisis sama sekali. Sebab, orang yang mempercayai krisis akan bermuka muram, sedih, layu, kering, dan tidak bergairah. Mereka inilah yang akan ditinggalkan pelanggan. (*)



Rhenald Kasali - Ketua Program MM UI