Senin, 04 Mei 2009

Sebuah Catatan dari Pertemuan ADB

Bali kembali menjadi tempat keramaian hari-hari ini. Tidak pelak lagi, pertemuan tahunan Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia menarik begitu banyak pengunjung.

Sekitar 3.000 anggota delegasi, baik dari pemerintah maupun perbankan dari seluruh dunia, memanfaatkan sidang ini sebagai ritual setiap tahun.Terlebih lagi, penyelenggaraan kali ini memancing minat yang lebih besar karena daya tarik yang besar dari Bali sebagai tuan rumah. Dalam acara kemarin 3 Mei terdapat diskusi yang menarik yang disebut sebagai governor?s seminar.

Topik acara adalah upaya untuk mengatasi dampak krisis global untuk Asia. Dari perhelatan ini, masih banyak yang berbicara secara defensif, yaitu apa yang bisa dilakukan untuk menahan agar krisis tersebut dapat diminimalkan dampaknya. Sampai-sampai gubernur dari Australia menyatakan bahwa jangan hanya berputarputar pada tantangan yang dihadapi, tetapi mencoba mencari peluang apa yang bisa timbul dari bencana ekonomi ini.

Adakah peluang di dalam Krisis Global ini ?

Beberapa tahun yang lalu Jepang pernah mengadakan penelitian untuk membangun jaringan pipa gas Asia-Pasifik atau yang dikenal sebagai Trans-Asia-Pacific Gas Pipeline. Pemikiran itu menurut hemat saya sangat bagus karena bisa mempermudah dan mempermurah biaya pengangkutan gas dari produsen ke konsumen.

Jaringan pipa ini sambung-menyambung dari Australia ke Vladivostok di Rusia. Setelah beberapa tahun pemikiran itu dilemparkan, saya tidak mendengar lagi kelanjutan beritanya. Namun, dari konsep semacam itu, kita melihat sekarang ini jaringan pipa gas di pantai utara Jawa akhirnya bertemu dengan jaringan pipa gas Sumatera Selatan ke Jawa Barat (di Muara Tawar) atau yang dikenal dengan SSWJ. Di Sumatera Selatan pusat pipa itu di Pagar Dewa yang menampung gas dari sekitar daerah itu maupun dari Grisik (Sumatera Selatan).

Bukan hanya itu, dari Pagar Dewa pun sudah tersambung jaringan pipa ke Singapura melalui Riau. Demikian pula dari ladang gas di Natuna yang dikembangkan Conoco Phillips sudah pula tersambung ke Singapura.Sementara itu,sudah ada pemikiran yang serius untuk membuat jaringan pipa gas dari Kalimantan Timur ke Jawa.Jika ini terjadi, elemen-elemen untuk terciptanya pemikiran dari Jepang tersebut secara perlahan-lahan menjadi kenyataan.

Dengan melihat pengalaman itu, bukan tidak mungkin pemikiran Jepang itu dapat diteruskan untuk membangun jaringan pipa gas Trans-Asia?Pacific tersebut dengan memanfaatkan masa krisis global sekarang ini.Selain jaringan pipa gas,ada dua jaringan lagi yang bisa dibangun dengan menggunakan pemikiran yang sama, yaitu jaringan jalan raya Trans-Asia- Pacific (Trans-Asia-Pacific Highway System) dan jaringan jalan kereta api Trans-Asia-Pacific.

Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin jaringan ini akan tersambung pula dengan jaringan yang bisa dibangun (atau untuk kereta api bahkan sudah ada) antara Asia dan Eropa, yaitu melalui jaringan Trans-Siberia.

Sumber Pembiayaan

Sudah barang tentu yang menjadi pertanyaan besar adalah dari mana sumber pembiayaannya. Kalau itu tidak terpenuhi, konsep itu kembali lagi hanya akan menjadi mimpi. Dari pengalaman yang ada di Indonesia, ternyata perlahan lahan kita mampu membangun jaringan pipa gas dengan kekuatan kita sendiri. Sebagian dibangun oleh Pertamina, sebagian lagi dibangun oleh Perusahaan Gas Negara.

Jika kita mampu melakukan hal itu dengan kekuatan sendiri, bukan tidak mungkin kita akan melakukan hal lain secara bersama-sama. Bagaimanapun jaringan Trans-Asia-Pacific akan memberikan manfaat bukan hanya kepada Indonesia, tetapi juga kepada semua wilayah yang terkena. Oleh karena itu, kita bisa mengharapkan kontribusi yang besar dari negaranegara kaya seperti Jepang, Korea, dan China.

Sumber pembiayaan yang lain adalah pinjaman dari lembaga keuangan seperti Asian Development Bank.Sudah barang tentu hal ini bisa terjadi jika ADB dan negara anggotanya memahami konsep tersebut dan betul-betul bersepakat untuk membangun jaringan tersebut untuk kepentingan semuanya. Jika hal ini bisa dilakukan ADB, yang memiliki peringkat AAA, tentu lebih mudah dalam mencari pembiayaan yang paling murah dan berjangka panjang. Adakah sumber lainnya lagi? Saya kira kita perlu mencoba untuk berpikir out-of-the box.

Dalam hal ini, bagaimana kita dapat memperluas definisi dari fiscal stimulus. Selama ini stimulasi fiskal tersebut selalu berpusat pada memompa permintaan domestik.Apakah dimungkinkan stimulasi fiskal tersebut ditujukan juga untuk memompa pembangunan di kawasan regional? Sebagai contoh, dalam mengatasi dampak krisis sekarang ini Jepang juga mengeluarkan stimulasi fiskal yang cukup besar.Pada masa krisis awal tahun 1990-an yang lalu, Jepang setiap tahunnya mengeluarkan stimulus sekitar 5 persen dari PDB, suatu jumlah yang sangat besar bagi ukuran Indonesia.

Selain untuk memperkuat sistem perbankannya (itu pun dilakukan pada akhir tahun 1990-an),Jepang memanfaatkan stimulus tersebut untuk memperbaiki prasarananya. Jalan masih sangat halus diaspal kembali. Pulau kecil yang sudah terhubung dengan suatu jembatan dan tidak banyak dilalui lalu lintas ditambah lagi dengan jembatan baru. Pada akhirnya stimulus tersebut tidak membawa hasil yang produktif, tetapi justru membebani keuangan Pemerintah Jepang.

Jika ingin merealisasi Trans-Asia-Pacific Gas Pipelines maupun juga jaringan jalan raya dan jalan kereta api, Pemerintah Jepang dapat melebarkan definisi dari stimulasi fiskal tersebut dengan juga memasukkan konsep pembangunan kawasan. Dalam hal ini 1 persen saja defisit dari APBN Jepang akan berarti sekitar USD40 miliar lebih. Dengan uang tersebut, yang di Jepang sendiri tidak akan menghasilkan apa-apa, akan mampu menghasilkan jalan raya (tol) antara Pulau Bali sampai dengan Singapura.

Di sinilah perlu dipikirkan akan menjadi seperti apa bentuk pembiayaan tersebut. Jika itu diwujudkan dalam bentuk utang pemerintah baru, jelas hal itu akan menjadi beban yang besar. Jika menjadi investasi swasta Jepang (semacam FDI), hal itu akan kurang menarik minat mereka. Oleh karena itu perlu dipikirkan modalitas yang diperlukan agar hal tersebut tidak menjadi beban yang berlebihan bagi Indonesia.

Mudah-mudahan pertemuan ADB tidak akan menghasilkan sesuatu yang standar yang kita semua sudah mengetahuinya, tetapi sesuatu yang di luar bayangan kita semua. (*)


Oleh : Cryllus Harinowo Hadiwerdoyo